Hukum Puasa Di Daerah Abnormal

30aug2009Posted by kanzfarras in Aug 30,2009Uncategorized
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kini orang sering menyebut tentang globalisasi. Dengan globalisasi, batasan negara semakin memudar dalam konteks aktivitas manusia dalam berbagai bidang. Penentuan waktu ibadah yang hakikatnya bersifat lokal, kini pun dituntut mengikuti globalisasi, dengan muatan yang berat, “unifikasi” (penyatuan, penyeragaman)..
Globalisasi informasi bisa berdampak negatif dalam konteks ukhuwah Islamiyah. Informasi tentang penentuan awal puasa di berbagai negeri, yang mungkin berbeda-beda, dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Masyarakat kadang-kadang menjadi bingung bila menyerap semua informasi itu. Perlu adanya penjelasan yang menjernihkan masalah perbedaan itu. Memang, ada penyebab perbedaan yang sulit dijelaskan. Tetapi, tinjauan astronomis tentang penentuan awal Ramadan dan hari raya bisa membantu juga menjelaskan terjadinya perbedaan itu.
Penampakan hilal, yang menjadi dasar penentuan awal Ramadan dan hari raya, memang tidak seragam di seluruh dunia. Bulan memang satu, tetapi kombinasi posisi bulan, bumi, dan matahari menyebabkan penampakannya tidak mungkin seragam. Dengan hisab global dapat dilihat wilayah mana saja yang kemungkinan akan lebih awal melihat hilal. Ini berarti wilayah itu pula yang akan lebih awal berpuasa dan berhari raya.
Hisab global melahirkan konsep garis tanggal qamariyah (berdasarkan posisi bulan). Dengan garis tanggal itu akan terlihat bahwa daerah di sebelah barat garis itu akan lebih awal melihat hilal daripada yang di sebelah timurnya. Karenanya, seperti juga diserukan dalam Resolusi Penang tentang kalender Islam internasional 1988, secara umum suatu negara tidak boleh mengacu hasil pengamatan hilal pada Negara negara di sebelah baratnya. Misalnya, Indonesia tidak boleh mengacu kepada Arab Saudi.
Garis tanggal qamariyah sifatnya tidak tetap seperti garis tanggal internasional (pada bujur 180o), tetapi berubah sesuai dengan perubahan posisi bulan dan matahari. Garis tanggal yang sederhana dibuat dengan menghitung pada daerah mana saja matahari dan bulan terbenam bersamaan. Ini merupakan syarat minimal ru’yatul hilal, yaitu bulan sudah wujud di ufuk barat. Di sebelah timur garis itu hilal tidak mungkin teramati karena telah berada di bawah ufuk ketika matahari terbenam. Makin ke arah barat kemungkinan ru’yatul hilal semakin besar.
Hasil hisab global (lihat gambar) menunjukkan bahwa garis tanggal awal Ramadan 1418 melintasi Amerika Selatan, Afrika Tengah, Jazirah Arab, Asia Tengah, dan Jepang. Itu berarti Eropa dan Amerika Utara kemungkinan akan mengawali Ramadan pada 30 Desember 1997. Sedangkan Australia, Indonesia, Asia Tenggara, dan negara-negara Arab akan mengawali Ramadan pada 31 Desember 1997.Garis tanggal awal Syawal 1418 melintasi Lautan Hindia, Irian, dan lautan pasifik. Berdasarkan kriteria bulan di atas ufuk, sebenarnya hampir seluruh dunia akan beridul fitri pada 29 Januari 1998. Hanya Australia yang beridul fitri 30 Januari. Tetapi bila menggunakan kriteria rukyat, Indonesia yang terletak dekat sisi barat garis tanggal kemungkinan besar akan beridul fitri 30 Januari 1998. Hal ini karena hilal masih sulit teramati pada 28 Januari, walaupun bulan telah wujud di atas ufuk.
Garis tanggal qamariyah pada hisab global bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan awal Ramadan dan hari raya di seluruh dunia. Perbedaan itu sebenarnya semu. Karena yang kita sebut “berbeda” sebenarnya hanyalah tanggal dan hari syamsiahnya. Sedangkan tanggal qamariyahnya tetap sama, yaitu 1 Ramadan untuk awal puasa dan 1 Syawal untuk idul fitri. Dengan kata lain, kita hidup dengan dua garis tanggal. Definisi hari berdasarkan garis tanggal internasional yang disepakati melintasi garis bujur 180o di samudra Pasifik. Sedangkan definisi awal Ramadan dan hari raya berdasarkan garis tanggal qamariyah yang tidak tetap posisinya, tergantung posisi bulan dan matahari.
1.2. Permasalahan
Dalam tulisan ini akan ditekankan pada tinjauan global mengenai pelaksaan puasa didaerah abnormal siang dan malamnya serta pendapat para pakar astronomi dan kajian para ulama kontemporer untuk menetapkan kemungkinan awal Ramadan dan Idul fitri di berbagai negeri dengan melihat peta garis tanggal qamariyah 1418. Hal ini penting diketahui agar kita tidak terkejut menghadapi globalisasi informasi melalui media massa dan internet tentang adanya perbedaan penentuannya di berbagai negeri.
II. PEMBAHASAN
PELAKSANAAN PUASA DIDAERAH ABNORMAL SIANG DAN MALAM
A. Defenisi Hilal
Hilal (crescent/new moon) secara astronomis adalah bagian dari Bulan yang menampakkan cahayanya terlihat dari Bumi sesaat setelah Matahari terbenam dengan didahului terjadinya ijtima’ atau konjungsi. Bulan tidak memancarkan cahaya sendiri, bentuk hilal yang becahaya didapat dari pantulan sinar Matahari.
Ibnu Manzhur (w.690 H/1291 M) dalam Lisanul ‘Arab-nya menyebutkan beragam defenisi hilal ditinjau secara bahasa, antara lain; hilal berarti awal atau sebagian dari bulan ketika telah tampak (yuhillu) oleh manusia. Dapat pula bermakna yang terlihat pada dua atau tiga malam pertama, atau sesuatu yang telah berbentuk (yuhajjir) (baca: seperti hilal), dapat pula bermakna yang berkilau (bercahaya) dikegelapan malam.[ ]
Dikaryanya yang lain, Ibnu Manzhur menyebutkan lagi; setelah terjadinya hilal disebut ‘syahr’, syahr disebut demikian karena ia memang telah dikenal dan nyata (masyhur), karena manusia mengetahui masuk dan keluarnya syahr itu. Syahr didefenisikan pula dengan hilal, karena ketika hilal telah tampak (ahalla) maka ketika itu ia disebut syahr.[ ] Makna senada terdapat pula dibanyak literatur-literatur bahasa.
B. Bumi, Bulan & Matahari
Bumi, Bulan & Matahari adalah tiga benda angkasa ciptaan Allah Swt. yang dengannya manusia dapat beraktifitas. Dalam peredarannya, Bumi berotasi selama 23 jam 56 menit 05,09054 detik, hal ini menyebabkan terjadinya siang dan malam. Disamping berputar pada sumbunya, Bumi juga berevolusi dengan kecepatan yang tidak teratur selama 365,2425 atau 365 1/4 hari, yang mengakibatkan siklus tahunan.[ ] Dalam rotasinya pula, Bumi akan miring membentuk sudut 23,5 derajat terhadap garis bidang orbitnya mengelilingi Matahari, yang menyebabkan adanya empat tatanan musim di Bumi, yaitu musim hujan, kemarau, semi dan gugur.
Berikutnya Matahari, dalam peredarannya akan melintasi ekuator sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu tanggal 21 Maret dan 23 September. Dimana satu tahun Matahari adalah jangka waktu yang diperlukan oleh Bumi untuk mengelilingi Matahari (revolusi), rata-rata satu tahun lamanya 365 1/4 hari.[4]
Sementara itu Bulan, merupakan benda angkasa istimewa bagi umat Islam, berbagai aktifitas ibadah dalam Islam selalu dikaitkan dengan siklus Bulan. Dalam peredarannya, Bulan berputar mengelilingi Bumi sekali dalam sebulan, yang sering disebut satu lunasi (satu siklus fase Bulan) atau satu perioda revolusi sinodik, yaitu 29 hari 12 jam 44 menit 2,9 detik atau 29.530589 hari, yang berarti masa satu tahunnya 354 hari 8 jam 48 menit 35 detik (354,3670694 hari).[ ] Bulan-bulan qamariyah terjadi melalui siklus peredaran yang dihabiskan bulan satu kali peredaran sempurna dari munculnya hilal hingga muncul hilal berikutnya atau dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya.[ ] Dalam penggunaan sehari-hari, angka pecahan bulan (0,530589 atau 12 j 44 m 2,9 d) tidaklah praktis, maka dibulatkan dengan berganti-ganti antara 29 hari dan 30 hari, hal ini senada dengan hadits baginda Nabi Saw. yang menyatakan; “… Bulan itu adakalanya 30 hari, adakalanya pula 29 hari”.
Disebabkan putarannya mengelilingi Bumi, Bulan senantiasa bertukar kedudukan dipandang dari arah Bumi. Oleh yang demikian, menyebabkan bentuk Bulan bertukar dalam fase-fasenya, yang diistilahkan dengan awjuh al qamar atau phases of the moon.[ ]
C. Fase-Fase Bulan
Fase-Fase Bulan (Phases of the Moon / Aujuh al-Qamar) adalah durasi yang dibutuhkan oleh Bulan berada dalam satu fase bulan baru ke fase bulan baru berikutnya. Waktu yang dibutuhkan adalah 29, 530588 hari atau 29h 12 j 44 m 2,9 d. Lama waktu antara dua konjungsi (ijtima’) dikenal dengan istilah periode sinodis (as Syahr al Qamariy), dan periode sinodis inilah yang menjadi kerangka dasar kalender hijriyah. Oleh karena itu umur bulan hijriyah bervariasi antara 29 hari dan 30 hari.[ ]
Dimaklumi, patokan utama umat Islam dalam memulai Ramadhan – Syawal & Dzulhijjah didasarkan pada visibilitas hilal sebagaimana petunjuk baginda Nabi Saw. dalam sabda-sabda-Nya. Hilal sebagai obyek utama merupakan benda angkasa langka yang tak semua orang dapat dan mampu melihatnya, diperlukan kesiapan dan kemampuan dalam melihatnya. Perubahan penampakan wajah Bulan setiap harinya, seperti yang terlihat dari Bumi, adalah sebagai akibat posisi relatif Bulan terhadap Bumi dan Matahari. Wajah Bulan nampak berbeda dari waktu ke waktu yang disebut fase-fase Bulan. Fase-fase tersebut adalah:
[1.] Crescent (al hilal), yaitu posisi (manzilah) pertama bulan ketika menuju langit utara, yang jika memungkinkan akan terlihat diufuk barat setelah Matahari terbenam. Kejelasan bentuk hilal dari satu bulan dengan bulan lain berbeda-beda, masa muncul dan terlihatnyapun berbeda-beda yaitu antara 10 s.d. 40 menit. Bentuk hilal hari-hari berikutnya akan semakin jelas dan membesar, hingga mencapai 6 hari 16 jam 11 menit hilal akan beralih pada posisi dan bentuk lain yaitu first quarter (at tarbi’ al awwal).
[2.] First Quarter (at tarbi’ al awwal), adalah bulan yang telah memasuki 1/4 peredarannya pada Matahari, yaitu mulai dari hari ke 7.
[3.] First Gibbous (al ahdab al awwal), yaitu bulan yang sudah mulai mendekati ufuk timur, dengan bentuknya yang sudah semakin membesar, yaitu telah sampai hari ke 11, dengan lengkung sabit menghadap timur.
[4.] Full Moon (al badar), yaitu bulan yang telah mencapai usia pertengahan dimana posisinya tepat berhadapan dengan Matahari, dan bentuknya telah bulat sempurna.
[5.] Second Gibbous (al ahdab as tsany), yaitu masa setelah berlalunya full moon (al badar) yang hampir seukuran dengan al ahdab al awwal namun dengan arah lengkung sabit yang berlawanan (menghadap barat).
[6.] Second Quarter (at tarbi’ as tsany), yaitu masa bulan yang telah berlalu sekitar 22 1/8 hari yang mirip at tarbi’ al awwal namun dengan arah lengkung sabit yang berkebalikan, yang terus bergerak sedikit demi sedikit menuju arah ufuk barat.
[7.] Second Crescent (al hilal as tsany), yaitu masa setelah berlalunya at tarbi’ as tsany, dimana cahayanya menutupi sebagian kecil bagian kanan yang berbentuk seperti hilal.
[8.] Wane (al mahaq), yaitu masa sampainya bulan pada peredaran sempurna, dimana Bumi dan Matahari dalam posisi sejajar, yang disebut dengan konjungsi (al iqtiran), dan nyaris tidak terlihat dari Bumi dikarenakan gelap.[9]
Konjungsi (ijtima’/iqtiran) sebagai syarat awal masuknya bulan baru adalah saat Bulan berada diantara Matahari-Bumi (fase wane/al mahaq), dimana wajah Bulan menjadi tidak nampak dari Bumi. Ijtimak merupakan pertemuan atau berimpitnya dua benda yang berjalan secara aktif. Pengertian ijtimak bila dikaitkan dengan bulan baru qamariyah adalah suatu peristiwa saat Bulan dan Matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur atau barat.
Namun karena sangat tipis, hilal sangat sulit dapat dilihat dari Bumi, karena bulan yang sedang berijtimak berdekatan letaknya dengan Matahari. Mengetahui saat terjadinya ijtimak sangat penting dalam penentuan awal bulan qamariyah, semua astronom (ahli hisab) sepakat bahwa peristiwa ijtimak merupakan batas penentuan secara astronomis antara bulan qamariyah yang sedang berlangsung dan bulan qamariyah berikutnya. Oleh karena itu, para ahli astronomi umumnya menyebut ijtimak atau konjungsi sebagai awal perhitungan bulan baru, yang dalam ilmu falak dikemukakan bahwa ijtimak antara Bulan dan Matahari merupakan dua bulan qamariyah.[ ]
Para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat tentang masalah puasa di wilayah yang siangnya lebih panjang dari malammnya atau sebaliknya. Mereka telah membuat banyak pernyataan dalam kaitan perbedaan musim dan pergantiannya dikaitkan dengan datangnya bulan Ramadhan.
Atas kehendak Allah SWT, perhitungan bulan-bulan Hijriyah tidak sama dengan sistem peredaran matahari dan sudut kemiringan bumi terhadap garis edarnya. Sehingga usia 1 tahun hijriyah dengan masehi akan selalu berbeda jumlah harinya.
Hal ini akan mengakibatkan efek rotasi dan pergiliran musim terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah sub tropis. Sehingga datangnya bulan Ramadhan akan selalu bergantian antara musim dingin dan musim panas. Sehingga sudah wilayah tidak akan selamanya mendapati Ramadhan di musim dingin saja. Dan sebaliknya tidak selalu di musim panas saja. Selalu ada pergiliran setiap sekian tahun sekali dimana terakadang Ramadhan datang di musim dingin, tepi terkadang Ramadhan datang di musim panas.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di wilayah sub tropis atau yang lebih utara lagi atau lebih selatan lagi, musim panas akan membuat siang hari lebih lama dari malam hari. Dan musim dingin akan membuat malam menjadi lebih panjang dari siang hari.
Hal ini memang akan berpengaruh kepada daya tahan seseorang yang melakukan ibadah puasa. Karena puasa itu dimulai dari masuk waktu shubuh hingga terbenam matahari. Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H betepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M. telah menerbitkan ketetapan tentang masalah ini.
Selain itu juga ada ketetapn dari Hai`ah Kibarul Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H. Kedua majelis ini membagi masalah ini menjadi tiga kasus yaitu :
Pertama : Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari.
Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
Kedua : wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh.
Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilannya mega merah maghrib.
Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
Ketiga : Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya
Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam.
               •    •
Artinya : “Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam…”…(QS. Al-Baqarah : 187)
Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itudikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain.
Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya : “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185).
PENDAPAT LAIN :
Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan oleh dua lembaga fiqih dunia itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah.
Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan ?Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit ? Karena itu pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan :
a. Mengikuti Waktu HIJAZ
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.
Merujuk pada fatwa Majlis Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, menentukan waktu berpuasa Ramadhan pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Sebagai contoh jika menyamakan dengan masyarakat mekkah yang berpuasa dari fajar sampai maghrib selama tiga belas jam perhari, maka mereka juga harus berpuasa selama itu.
Adapun untuk daerah yang samasekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya
Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja”. Rasul menjawab “tidak… tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)”. [HR. Muslim] Dan demikianlah halnya kewajban -kewajiaban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.[ ]
b. Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat
Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim.
Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.
c. Negeri Dekat Kutub
Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Lamanya berpuasa hanya bervariasi antara 13 – 14 jam. Di Bandung, yang termasuk bagian selatan daerah tropik, perbedaan panjang hari puasa antara bulan Juni dan Desember hanya sekitar 50 menit.
Pada bulan Juni, lamanya waktu puasa di Bandung sekitar 13 jam. Sedangkan bila berpuasa pada bulan Desember lamanya puasa sekitar 13 jam 51 menit.
Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang hari paling panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada lamanya berpuasa. Puasa pada bulan Juni, seperti pada tahun 1983, merupakan puasa terpanjang bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpendek bagi wilayah di belahan bumi selatan. Sedangkan puasa pada bulan Desember – Januari, seperti terjadi tahun ini sampai 2001, merupakan puasa terpendek bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpanjang bagi wilayah di belahan bumi selatan.
Puasa pada bulan Juni atau Desember merupakan saat ekstrim yang perlu dibahas. Selain karena lamanya puasa menjadi sangat panjang atau sangat pendek, bisa terjadi pula tidak adanya tanda awal fajar atau tidak adanya tanda maghrib. Sedangkan batasan waktu puasa menurut dimulai pada awal fajar dan diakhiri pada (awal) malam (atau maghrib). Pada keadaan ekstrim seperti itu, di daerah lintang tinggi bisa terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan mesti memulai puasanya. Bisa juga terjadi malam terus sehingga awal fajar dan maghrib untuk memulai dan berbuka puasa tidak bisa ditentukan.
Karena saat ini ummat Islam sudah tersebar ke seluruh dunia, maka para ulama pun telah memikirkan bagaimana cara puasa di daerah dengan waktu ekstrim seperti itu. Namun, belum ada satu kesepakatan. Ada yang berpendapat, pada saat ekstrim seperti itu pelaksanaan puasa diqadla (diganti) pada bulan lainnya seperti.[ ] diusulkan oleh Tetapi pendapat seperti ini mempunyai kelemahan. Dengan mengqadla puasa, maka keutuhan ibadah Ramadan (a.l. puasa, salat malam, tadarus, dan i’tikaf) tidak sempurna lagi.Ada juga yang berpendapat bahwa pada keadaan ektrim seperti itu gunakan perhitungan waktu mengikuti daerah normal di sekitarnya. [ ]Pendapat untuk melakukan perkiraan waktu atau hisab ini dilandaskan pada qiyas (analogi) dengan hadits tentang Dajal yang diriwayatkan Muslim dari Yunus ibn Syam’an. Dalam hadits itu disebutkan bahwa pada saat itu satu hari sama dengan setahun. Kemudian ada sahabat yang bertanya,”Cukupkah bagi kami salat sehari?” Nabi menjawab,”Tidak, perkirakan waktu-waktu itu”. Bila menggunakan qiyas itu, masalahnya adalah apakah tepat mendasarkan perkiraan waktunya pada daerah normal di sekitarnya. Saya berpendapat lebih baik dan lebih pasti menggunakan waktu normal setempat, sebelum dan sesudah waktu ekstrim itu. Dengan perhitungan astronomi hal itu mudah dilakukan.
Dalam program jadwal salat yang saya buat, yang bisa digunakan juga untuk penentuan jadwal puasa di berbagai negeri, dalam keadaan ekstrim seperti itu waktu-waktu salat dan puasa diqiyaskan dengan waktu normal sebelumnya. Bila saat magribnya dapat ditentukan, bisa juga awal fajar dihitung berdasarkan lamanya berpuasa pada saat normal. Berdasarkan perhitungan astronomis, panjang puasa pada saat normal di seluruh dunia tidak lebih dari 20 jam. Jadi, dengan adanya waktu minimal 4 jam untuk berbuka dan bersahur, hal itu masih dalam batas kekuatan manusai.
Tahun ini, puasa Ramadan jatuh pada akhir Desember sampai Januari. Di wilayah lintang tinggi di selatan, seperti bagian Selatan Chile dan Argentina, saat ini sampai tahun 2001 merupakan saat berpuasa paling panjang. Tetapi di wilayah lintang tinggi di utara, seperti di negara-negara Skandianvia, merupakan saat berpuasa paling pendek. Sebagai contoh, akan ditinjau lama berpuasa di kota Ushuaia (Argentina) dan Tromso (Norwegia). Ushuaia terletak di ujung Selatan Argentina pada posisi sekitar 55 derajat lintang selatan. Sedangkan Tromso adalah kota di bagian utara Norwegia pada lintang utara 69 derajat. Di kota Ushuaia mulai 10 November sampai 1 Februari merupakan masa tanpa gelap malam. Waktu senja bersambung dengan fajar (continous twilight). Jadi, tidak ada awal fajar yang menjadi batasan awal waktu berpuasa. Waktu normal sebelumnya, 9 November, awal fajar (shubuh) pukul 01:39 dan magrib pukul 21:08. Dan waktu normal sesudahnya, 2 Februari, shubuh pukul 02:08 dan maghrib pukul 21:36. Jadi, lamanya puasa maksimum sekitar 19,5 jam. Masih ada waktu 4,5 jam untuk berbuka dan bersahur.
Maghrib pada awal Ramadan di Ushuaia pada pukul 22:14 dan pada akhir Ramadan pada pukul 21:45. Jadi, awal fajar untuk memulai puasa bisa ditentukan dengan mengurangkan 19,5 jam dari waktu maghrib. Pada awal Ramadan puasa dimulai pukul 02:44 dan pada akhir Ramadan pukul 02:15. Kasus berbeda terjadi di Tromso. Sejak 2 Desember sampai 11 Januari di sana selamanya malam. Jadi, selama setengah bulan Ramadan ini waktu berpuasa di sana tidak normal. Waktu normal sebelumnya, 1 Desember, shubuh pukul 05:54 dan maghrib pukul 11:37 (lamanya berpuasa 5 jam 43 menit). Dan waktu normal sesudahnya, 12 Januari, shubuh pukul 06:13 dan maghrib pukul 12:24 (lamanya berpuasa 6 jam 11 menit). Sedangkan pada akhir Ramadan, 28 Januari, shubuh pukul 5:42 dan maghrib pukul 14:18.
Dalam kasus malam panjang ini, cara yang terbaik dalam menjabarkan jawaban Nabi (sebagai qiyas) untuk memperkirakan waktunya adalah dengan interpolasi (teknik matematika untuk mengisi data kosong antara dua data yang diketahui). Dengan interpolasi, awal puasa antara pukul 05:54 dan 06:13, tergantung tanggalnya. Demikian juga untuk maghrib antara pukul 11:37 dan 12:24, tergantung tanggalnya.
Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak terjadi selamanya. Adanya perbedaan panjang tahun qamariyah (kalender bulan) dan tahun syamsiah (kalender matahari) menyebabkan awal Ramadan dam hari raya selalau bergeser sekitar 11 hari lebih awal. Sehingga bila Ramadan jatuh pada sekitar bulan Maret dan September, semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya puasa di daerah ekuator. Pada sekitar bulan Maret dan September, panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia.
III. PENUTUP
Persepsi siang hari bagi orang yang tinggal di daerah tropis adalah kondisi terang karena terdapat sinar matahari, sedangkan malam adalah kondisi gelap-gulita, tanpa ada sinar matahari karena sinar tersebut telah tenggelam di bawah horizon. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal tanpa ada sinar matahari atau lama matahari bersinar sangat pendek? Apakah mereka harus meninggalkan kewajiban berpuasa?
Tentu saja tidak, Allah itu serba Maha. Dalam memberikan kewajiban terhadap hamba-hamba-Nya, telah diperhitungkan dengan sangat cermat. Begitu pula dengan agama Islam yang diturunkan-Nya, bersifat sempurna , supel, dan universal. Nabi Muhammad SAW memang diturunkan di daerah tropis, dan kita juga tinggal di negara yang beriklim tropis, tentu tidak akan mengalami kendala dalam hal waktu siang dan malam. Kita bisa menjalankan puasa seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW di daerah tropis. Tetapi bagi orang-orang yang tinggal di daerah beriklim subtropis, sejuk, dan dingin, serta orang yang pergi ke luar angkasa, tentunya berbeda dalam menghadapi waktu siang dan malam yang lamanya tidak proporsional (siang 12 jam, malam 12 jam).
Daerah dekat Kutub Utara atau Selatan tidak memiliki keseimbangan siang dan malam. Malam atau siangnya bisa menjadi lebih lama. Matahari tidak terbit atau tidak tenggelam selama beberapa bulan. Lalu, apakah orang-orang yang tinggal di sana harus berpuasa selama 20 jam atau lebih ketika musim panas? Atau cuma 3–4 jam ketika musim dingin? Atau justru tidak berpuasa karena tidak ada sinar matahari sehingga gelap terus. Keadaan tersebut memang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW sehingga dalam menerapkan fikih tidak bisa diambil serta-merta.[ ]
Dalam hal ini, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan, di antaranya:
Pertama, orang-orang yang tinggal di daerah selain tropis tetap menjalankan puasa tanpa mempersulit/memberatkan pelaksanaan ibadah tersebut karena Islam merupakan agama yang fitrah. Jadi, ajaran-ajaran yang ada di dalamnya bisa dilaksanakan sesuai dengan kemampuan manusia dan konteks perkembangan zaman.
Kedua, daerah tropis bisa dijadikan sebagai pedoman waktu puasa karena memang Islam diturunkan di daerah tropis. Maksudnya, berpedoman pada pergerakan matahari di daerah tropis yang dikonversi ke dalam bentuk jam. Hal ini berdasarkan pada konsep garis bujur karena seluruh wilayah di permukaan bumi ini akan berada pada jam yang sama jika terletak di garis bujur yang sama pula. Jadi, puasa bisa dilaksanakan pada kondisi gelap (“malam”) asalkan sama jamnya dengan daerah lain yang terang (siang) karena berada di garis bujur yang sama.
Ketiga, untuk kondisi di luar angkasa, puasa juga bisa dilakukan dengan berpedoman pada jam universal
. Puasa memang bisa dilaksanakan di belahan bumi manapun dan waktunya tidak memberatkan. Mahasuci Allah yang telah menurunkan Islam dengan rahmatan lil’alamien (rahmat bagi seluruh alam). Segala perintah-Nya telah diperhitungkan dengan sangat cermat sehingga tidak memberatkan hamba-hamba-Nya karena Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ad Dalil al Falaky, edisi 1428 H (cet. Republik Arab Mesir, Pusat Observasi Astronomi dan Geofisika Helwan)
2. Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, j. 15, Dar Shadir, Beirut-Libanon, Cet. IV, 2005
3. —————-, Natsarul Azhar fi al Layl wa an Nahar, Mu’assasah al Kutub al Tsaqafiyyah, Libanon, Cet. I, 1409 H/1988 M
4. Erlina Hasan, Penanggalan (Tarikh), Diktat Mata Kuliah Ilmu Falak Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Medan, t.t.
5. S.Farid Ruskanda, M.Sc, APU, 100 Masalah Hisab & Rukyat, Telaah Syari’ah, Sains an Teknologi, Gema Insani Press, cet.I, 1416 H-1996 M
6. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Pengantar Ilmu Falak, Penerbit MAPALA PCIM Kairo-Mesir, 2007
7. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2005 M.
8. Muhammad Ahmad Sulaiman, Sibahah Fadha’iyyah fi Afaq ‘Ilm[il] Falak, Maktabah al ‘Ujairy-Kuwait, 1420 H/1999 M
9. —————, Nahwu Shiyaghah Mabady’ at-Taqwim al-Islamy al-’Alamy (Makalah Seminar Internasional Tentang Kalender Islam di Jakarta Indonesia tahun 2007 M)
10. TM.Ali Muda, Rumus Falak Sistem Jean Meus (Diktat mata kuliah Ilmu Falak I & II Universitas Islam Sumatera Utara (UISU)

comment 0 komentar:

Posting Komentar

BERITA & ARTIKEL LAIN

 
copyright©2011 KUA Sangkapura Bawean Gresik Jawa Timur