Makalah 1
HUKUM WARIS ISLAM INDONESIA*)
Oleh : Nasichun Amin,M.Ag (Kepala
KUA Kec. Sangkapura Kab. Gresik Jawa Timur)
Hukum Waris adalah
peraturan yang mengatur siapa saja yang berhak menjadi ahli waris (yang bisa
mewarisi harta) dari seseorang yang telah meninggal dunia dan mengatur bagian
yang diperoleh masing-masing ahli waris dari harta warisan (tirkah) yang
ditinggalkan dan dimiliki oleh orang yang meninggal.
Hukum Waris Islam
merupakan reformasi besar-besaran dari hukum waris jaman jahiliyah, walaupun
dilakukan secara bertahap. Berikut beberapa perubahan ketetapan hukum yang
terjadi dari jaman jahiliyah secara tabel sebaimana berikut :
Hukum Waris Jahiliyah
|
Hukum Waris Islam
|
Wanita
tidak bisa jadi ahli waris, hanya laki-laki saja yang menjadi ahli waris
bahkan wanita bisa menjadi harta warisan
|
Wanita
dan laki-laki sama-sama menjadi ahli waris dengan pembagian tertentu dan
wanita bukan harta warisan
|
Perjanjian
persaudaraan menjadi sebab saling mewarisi
|
Pada
awal Islam masih mengakui perjanjian persaudaraan dan persaudaraan ketika
hijrah sebagai sebab saling mewarisi, namun pada akhir syari'at mengenai
waris hal tersebut dihapus.
|
Anak
angkat laki-laki bisa menjadi ahli waris
|
Pada
awal Islam mengakui namun akhir syari'at Islam menghapus pengangkatan anak
sebagai sebab saling mewarisi
|
Pembebasan
budak, tuan budak yang membebaskan tidak menjadi ahli waris
|
Dalam
rangka menghapuskan perbudakan, dalam ajaran Islam, tuan yang membebaskan
budaknya menjadi ahli waris dari budak yang telah dimerdekakannya. Pada zaman
sekarang perbudakan sudah tidak ada maka ketentuan tersebut otomatis sudah
tidak berlaku.
|
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara
berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah selama Rasulullah
berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan ayat-ayat
yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan
hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan
yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang
tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan
yang dibangun oleh syari’ah Islam adalah sistem kekeluargaan yang bersifat
bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat Arab
jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan
praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya.
Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi
praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkan kepada ummat Islam di Indonesia.
Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan
berkembang di Indonesia adalah hukum keluarga yang bersifat bilateral,
sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum
kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat sambutan secara tangan terbuka
karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam praktik.
Sebagai jalan keluar
untuk penyelesaian pelaksanaan hukum waris Islam di Indonesia, maka tersusunlah
ketentuan pelaksanaan pembagian harta waris yang disusun dan disepakati oleh
beberapa ulama Indonesia. Dan untuk penetapannya pemerintah menerbitkan Instruksi
Presiden nomor 01 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya (Buku II) termaktub hukum waris Islam
dan hal-hal yang terkait dengan harta waris. Berikut adalah tabel praktis ahli
waris dan pembagian harta waris, sesuai dengan kompilasi hukum Islam.
*) disampaikan dalam Rapat Dinas Kepala Desa, dari berbagai sumber dan rujukan
Makalah 2
Sosialisasi Hukum Waris Islam di
Indonesia
oleh ; Nasichun Amin, M.Ag (Penghulu Muda KUA Kec.
Gresik)
Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan menentukan siapa-siapa
yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan berapa bagiannya masing-masing.
Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan,
disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat manusia agar
terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam
kehidupan di bawah naungan dan ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah Hukum Kewarisan Islam
Sejarah Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman
Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat dipaparkan
sebagai berikut ;
1. Hukum
kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan
dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan,
dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja,
yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan
kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
2. Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan,
karena dipandang tidak mampu memangul senjata guna mempertahankan kehormatan
keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Bahkan orang
perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan
obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan
dihapuskan oleh Islam dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang
menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat tersebut Allah SWT.
Berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
3. Selain
itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar
untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan
perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak
mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah
itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi
berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
4. Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga
dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa
maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan
syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan Islam hal ini masih
berlaku.
5. Kemudian
pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi
mempersaudarakan antara Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan hubungan
persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab
untuk saling mewarisi
6. Dari
paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dasar untuk dapat saling
mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah :
a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
b. Adanya pengangkatan anak
c. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah
dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli
waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW.
Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga
dijadikan dasar untuk saling mewarisi.
7. Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya
pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus.
Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As
Sunah sebagai suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim.
8. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi,
kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya
ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik
sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam Syari’at
Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya dalam Surat An Nisa’ ayat 7,
yang artinya sebagai berikut ;
”Bagi orang laki-laki ada hak (bagian) dari hartapeninggalan ibu, bapak,
dan kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta
peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan”.
Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT. Berfirman yang
artinya :
”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan”.
9. Selanjutnya
pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara (janji setia) juga dihapuskan
dengan turunnya Ayat 6 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah
lebih berhak daripada sebagian yang lain di dalam kitab Allah daripada
orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat
baik kepada saudara-saudaramu .....”
10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga
dihapuskan dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... dan Tuhan tidak menjadikan anak-anak angkatmun
sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Sedang Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan
(yang benar). Panggillah mereka dengan memakai nama-nama ayahnya (yang
sebenarnya) sebab yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak
mengetahuiayahnya maka (panggillah mereka seperti memanggil) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu (yakni orang-orang yang berada di bawah
pemeliharaanmu).....”
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula bahwa :
”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para
nabi.....”
11. Sedang mengenai kewarisan berdasarkan persaudaraan
karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan Hadits
Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
”Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah
yang dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara Muhajirin dengan
Anshor.
12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara
berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah
berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan
yat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan
hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan
yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang
tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang
dibangun oleh syari’ah Islam adalah sistem kekeluargaan yang bersifat
bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat Arab
jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan
praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya.
Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah
mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai
sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkan kepada ummat
Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga
yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat
bilateral, sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal
sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat sambutan
secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam
praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di bidang
hukum kewarisan.
14. dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah
SAW. Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia menjadi ahli
warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi pada masa kini perbudakan
secara yuridis sudah tiada lagi.
15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing
merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, yaitu hukum keluarga.
Antara keduanya tidak dapat dipisahkan ibarat sekeping mata uang, antara satu
sisi dengan sisi lainnya. Oleh karenanya kedua hukum tersebut harus mempunyai
sifat, asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan enak dan
selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, apabila terjadi ketidakselarasan
maka dapat dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan keluarga.
Demikian pula halnya dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari
sistem hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama dengan
Hukum Perkawinan.
16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat
berbagai Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini terjadi
karena faktor sejarah, tata kehidupan masyarakat, pemikiran, ketaatan terhadap
syari’ah, dan sebagainya yang berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan
hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan juga menimbulkan disparitas nya
putusan Pengadilan Agama.
17. Disamping itu, corak kehidupan masyarakat Arab yang
bersifat patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman terhadap Hukum
Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang kita pelajari selama ini adalah
hukum kewarisan yang lebih bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman
masyarakat Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil
karena corak kehidupan masyarakat kita adalah bilateral, sementara hukum waris
yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.
18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh
Mahkamah Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas membina
jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, termasuk disini adalah
Peradilan Agama.
19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989,
tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa,
mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka
kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai
dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa
mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10
Juni 1991.
20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum
kewarisan Islam di Indonesia, KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :
”Walhasil, hukum faraid yang ada perlu dibina lagi, terutama untuk
Indonesia, dengan hukum faraid konkrit yang dapat mencakup soal-soal penting
yang berkait dengan faraid, dan mencakup petunjuk ayat-ayat Al Qur’an dan Al
Hadits yang telah dipotong oleh sebagian ulama fiqih. Bila pembinaan itu
berhasil, Insya Allah persengketaan kita dapat terselesaikan.”
Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu fiqih
dengan rasa keadilan masyarakat islam maka perlu diadakan kaji ulang terhadap
hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada sumber aslinya,
yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah gagasan tentang
reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya dituangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ini.
Makalah ini di tulis dari berbagai kutipan dan sumber rujukan. Wallahu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar