FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11 Tahun 2012
Tentang
KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG:
- Bahwa
dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa
turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina.
- Bahwa
dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena
laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak
haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan
kepada ibu.
- Bahwa
terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan
memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki
yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan
MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya.
- Bahwa
terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai
kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris,
dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya menurut hukum Islam.
- Bahwa
oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak
hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT:
1.
Firman Allah SWT:
a. Firman
Allah yang mengatur nasab, antara lain :
وَهُوَ
الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ
رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia
(pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah danadalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS. Al-Furqan : 54).
b. Firman
Allah yang melarang perbuatan zina dan seluruh hal yang mendekatkan ke zina,
antara lain:
وَلاَ
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).
وَالَّذِينَ
لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ
أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ
مُهَاناً
“Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina” (QS.
Al-Furqan: 68 – 69)
c. Firman
Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul
kekerabatan, antara lain:
وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ
يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ ِلأَبَائِهِمْ هُوَ
أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5).
وَحَلائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ
“…. (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) “ (QS.
Al-Nisa: 23).
d. Firman
Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain,
demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana
firman-Nya:
وَلاَ
تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ
Dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain526. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)
وَلاَ تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم
بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah
kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS.
Al-Zumar: 7)
2. Hadis Rasulullah SAW,
antara lain:
a. hadis
yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari
perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman,
antara lain:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي
وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ
انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ
اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا
بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ
وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ
قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ. رواه البخارى ومسلم
Dari ‘Aisyah
ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut
terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah
anak saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia
adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn Zum’ah juga berkata: “Anak ini
saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari
ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat
keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu
wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari
perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan
berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah
melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
عن عمرو بن
شعيب عن أبيه عن جده قال: قام رجل فقال: يا رسول الله، إن فلانًا ابني، عَاهَرْتُ
بأمه في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا دعوة في الإسلام، ذهب
أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر. رواه أبو داود
“Dari ‘Amr
ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya
rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika
masih masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak
dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi
pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina
adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)
b. hadis
yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:
قال النبي
صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا ” لأهل أمه من كانوا” . رواه أبو داود
Nabi saw
bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya …” (HR. Abu
Dawud)
c. hadis
yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan
lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:
عن عمرو بن
شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ” أيما رجل عاهر بحرة
أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث “ رواه الترمذى - سنن
الترمذى 1717
“Dari ‘Amr
ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap
orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah
anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR.
Al-Turmudzi)
d. hadis
yang menerangkan larangan berzina, antara lain:
عن أبي مرزوق رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قال غزونا مع رويفع
بن ثابت الأنصاري قرية من قرى المغرب يقال لها جربة فقام فينا خطيبا
فقال أيها الناس إني لا أقول فيكم إلا ما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول قام فينا يوم حنين فقال لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الآخر أن
يسقي ماءه زرع غيره . أخرجه الإمام أحمد و أبو داود
Dari Abi
Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn Tsabit berperang di
Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia,
saya sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada saat perang Hunain
seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)’ (HR Ahmad
dan Abu Dawud)
e. hadis
yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa
dosa, antara lain:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه . رواه
البخارى ومسلم
Dari Abi
Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi
fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau
majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim)
3. Ijma’ Ulama, sebagaimana
disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada
seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan
anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan
kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak
tersebut.
وأجمعت الأمة
على ذلك نقلاً عن نبيها صلى الله عليه وسلم، وجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كل
ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم اللعان
Umat telah
ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw
menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan
kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an,
maka hukumnya hukum li’an.
Juga
disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai
berikut:
وأجمعوا على
أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه
Para Ulama
bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian
orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
4. Atsar Shahabat, Khalifah
‘Umar ibn al-Khattab ra berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil
zina dengan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam
“al-Mushannaf” Bab ‘Itq walad al-zina” hadits nomor 13871.
5. Qaidah
Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta
akibat hukumnya.
6.
Qaidah ushuliyyah :
الأ صل في
النهي يقتضي فساد المنهي عنه
“Pada
dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan
yang terlarang tersebut”
لا اجتهاد في
مورد النص
“Tidak ada
ijtihad di hadapan nash”
7. Qaidah fiqhiyyah :
لِلْوَسَائِلَ
حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Hukum
sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju”
الضَّرَرُ
يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Segala
mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.
الضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya itu
tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan
mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.
يُتَحَمَّلُ
الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ
“Dharar yang
bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum
(lebih luas).”
إِذَا
تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا
بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila
terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan
atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang
resiko bahayanya lebih kecil.”
تَصَرُّفُ
اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ
“Kebijakan
imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
MEMPERHATIKAN
:
1. Pendapat
Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang
menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan
pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat
hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya,
tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana termaktub dalam
beberapa kutipan berikut:
a. Ibn Hajar
al-‘Asqalani:
نقل عن الشافعي أنه قال: لقوله “الولد للفراش” معنيان:
أحدهما
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان”
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان”
Diriwayatkan
dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi
hak pemillik kasur/suami “ .
Pertama : Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak
menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak
tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam
syariah, seperti melakukan Li’an, maka anak tersebut dinyatakan
bukan sebagai anaknya.
Kedua : Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami
dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut
menjadi hak pemilik kasur/suami.
Adapun
maksud dari “ Bagi Pezina adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu
keterhalangan dan keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan
dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa
kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.
Oleh
karenanya, makna dari keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina
tersebut tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari
perzinaannya. Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi
bangsa arab yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu”
buat orang yang telah berputus asa dari harapan.
Ada yang
berpendapat bahwa pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam
Nawawi menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam
hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi
yang lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam, tapi
dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena
itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan
redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa
keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina
(mukhsan atau bukan mukhsan).
b. Pendapat
Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128
sebagai berikut:
ولد الزنا لا
ينسب لأب وإنما ينسب لأمه
Anak zina
itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.
c. Pendapat
Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai berikut :
والولد يلحق
بالمرأة إذا زنت و حملت به ولا يلحق بالرجل
Anak itu
dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan
tidak dinasabkan kepada lelaki.
2. Pendapat Imam Ibnu
Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:
وَيَرِثُ
وَلَدُ الزِّنَا وَاللِّعَانِ مِنْ جِهَةِ الأمِّ فَقَطْ ؛ لأنَّ نَسَبَهُ
مِنْ جِهَةِ الأبِ مُنْقَطِعٌ فَلا يَرِثُ بِهِ وَمِنْ جِهَةِ الأمِّ ثَابِتٌ
فَيَرِثُ بِهِ أُمَّهُ وَأُخْتَه مِنْ الأمِّ بِالْفَرْضِ لا غَيْرُ وَكَذَا
تَرِثُهُ أُمُّهُ وَأُخْتُهُ مِنْ أُمِّهِ فَرْضًا لا غَيْرُ
Anak hasil
zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena
nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris
dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia
memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja
(bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang
seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.
3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin
dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin)
sebagai berikut :
ويرث ولد
الزنا واللعان بجهة الأم فقط لما قد مناه فى العصبات أنه لا أب لهما
Anak hasil
zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana
telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena anak hasil
zina tidaklah memiliki bapak.
4. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam
kitab “al-Fatawa al-Kubra” :
وَاخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ فِي اسْتِلْحَاقِ وَلَدِ الزِّنَا إذَا لَمْ يَكُنْ فِرَاشًا ؟ عَلَى
قَوْلَيْنِ .كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ { صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ أَلْحَقَ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ زَمْعَةَ بْنِ
الْأَسْوَدِ ، وَكَانَ قَدْ أَحْبَلَهَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ،
فَاخْتَصَمَ فِيهِ سَعْدٌ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ ، فَقَالَ سَعْدٌ : ابْنُ أَخِي
.عَهِدَ إلَيَّ أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ هَذَا ابْنِي . فَقَالَ عَبْدٌ :
أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي ؛ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي . فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ لَك يَا عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ الْوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ؛ احْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ } لَمَّا
رَأَى مِنْ شَبَهِهِ الْبَيِّنِ بِعُتْبَةَ ، فَجَعَلَهُ أَخَاهَا فِي الْمِيرَاثِ
دُونَ الْحُرْمَةِ
Para ulama
berbeda pendapat terkait istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si
wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita).
Diriwatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita
Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita
tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh. Sementara itu, Sa’ad menyatakan :
anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata
sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn
Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari
budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah
SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu
menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah
bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah – Istri
Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah,
maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak
waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.
5. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili
dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada
Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada
intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan
perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijma
ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid”
(8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia
tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia
berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan
seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut hanya
dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya.
Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong
terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup pintu yang
mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga kesucian
nasab dari perlikau munkarat.
6. Pendapat,
saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat
Komisi Fatwa pada tanggal 3, 8, dan 10 Maret 2011.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: FATWA
TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama: Ketentuan Umum
Di dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan :
- Anak
hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di
luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah(tindak
pidana kejahatan).
- Hadd adalah
jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan
oleh nash
- Ta’zir adalah
jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan
kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan
hukuman).
- Wasiat
wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang
mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk
berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Anak
hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah
dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak
hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak
hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang
mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina
dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang,untuk
kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5.
Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina
yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
a. mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman
sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan
hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan
kelahirannya.
Ketiga: Rekomendasi
1. DPR-RI
dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang
mengatur:
a. hukuman
berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat
pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk
melakukannya);
b.
memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan
kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
2.
Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum
yang keras dan tegas.
3.
Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya
penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang
menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4.
Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada
anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan
kelahirannya.
5.
Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil
zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak
hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan
keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
Keempat: Ketentuan
Penutup
- Fatwa
ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke
mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Agar
setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya,
menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan
di: Jakarta
Pada
tanggal:
18 Rabi’ul
Akhir1433 H
10 M a r e t
2012 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
0 komentar:
Posting Komentar