AKURASI ARAH KIBLAT : TINJAUAN FIQIH DAN SAINS Oleh : Dr. Sopa, M.Ag



A.    Pendahuluan
Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat. Apabila tidak menghadap kiblat, salatnya tidak sah. Umat Islam di Indonesia pada umumnya meyakini  kiblat itu berada di sebelah Barat sehingga identik dengan arah Barat tempat terbenamnya matahari. Akibatnya, bagi mereka salat itu harus menghadap ke Barat di manapun mereka berada. Dengan demikian, masalah kiblat itu menjadi masalah yang “sederhana” yang dapat diketahui dengan diketahuinya arah terbit dan terbenamnya matahari.
Ketika mereka masih berada di wilayah Indonesia, hal tersebut tidak menjadi “persoalan”. Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain apabila mereka berada di luar wilayah Indonesia seperti yang dialami oleh kaum muslimin Suriname Amerika Latin  yang berasal dari pulau Jawa. Mereka tetap menghadap ke Barat dalam salatnya, padahal semestinya harus menghadap ke Timur.
Atas dasar itu, penentuan arah kiblat itu bukan menjadi persoalan yang sederhana lagi. Sebab, ketika  KH Ahmad Dahlan mempelopori perubahan arah kiblat di Yogyakarta timbullah rekasi keras menentangnya sampai-sampai suraunya diratakan dengan tanah. Menurut perhitungan ilmu Falak yang dikuasainya, arah kiblat yang benar di Yogyakarta itu adalah menghadap ke Barat Laut dan bukan ke Barat.  Beliau sudah berusaha dan memperjuangkan pendapatnya secara hati-hati dan bijaksana, tetapi hasilnya tetap saja reaksi yang berlebih-lebihan dan tidak proporsional.
Dari kedua peristiwa tersebut, jelaslah bahwa masalah “akurasi” menjadi persoalan yang sangat penting dalam menentukan arah kiblat. Sebab, berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dalil kewajiban menghadap kiblat di dalam salat  adalah harus dilakukan dengan metode menghadap fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) bagi mereka yang berada di sekitar ka’bah dan menghadap ke arah kiblat bagi mereka yang berada di luarnya. Makalah yang sederhana ini mencoba membahas hal tersebut secara singkat dan praktis.
B. Landasan Normatif
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia baru boleh dilakukan setelah ada ketetapan atau dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Hal  ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl fî al-‘ibâdah al-buthlân hattâ yaqûma al-dalîl ‘alâ al-amr, hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah bathal sampai ada dalil yang memerintahkannya”. Ini berarti bahwa dalam lapangan ibadah, pada hakekatnya segala perbuatan harus menunggu adanya perintah yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya baik melalui al-Qur’an maupun  hadis.  
Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk  menghadap kiblat dalam salat baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Adapun nash-nash al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Al-Baqarah [2] : 144 :
قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره وإن الذين أوتوا الكتاب ليعلمون أنه الحق من ربهم وما الله بغافل عما يعملون
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
2. Al-Baqarah [2] : 149 dan 150.
ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام وإنه للحق من ربك وما الله بغافل عما تعملون ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره لئلا يكون للناس عليكم حجة إلا الذين ظلموا منهم فلا تخشوهم واخشوني ولأتم نعمتي عليكم ولعلكم تهتدون
Artinya : Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.
            Dalam ayat-ayat tersebut Allah firman-Nya فول وجهك شطر المسجد الحرام sampai tiga kali. Menurut Ibn Abbas, pengulangan tersebut berfungsi sebagai penegasan pentingnya menghadap kilbat (ta’kîd). Sementara itu, menurut Fakhruddin al-Razi, pengulangan tersebut menujukkan fungsi yang berbeda-beda. Pada  ayat yang pertama (al-Baqarah : 144) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dapat melihat ka’bah, sedangkan pada ayat yang kedua (al-Baqarah : 149) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di luar masjidil Haram. Sementara itu, pada ayat yang ketiga (al-Baqarah : 150) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di negeri-negeri yang jauh. Berdasarkan kedua pendapat tersebut jelaslah bahwa perintah menghadap kiblat itu tidak hanya ditujukan pada mereka yang berada di Makkah dan sekitarnya, tetapi juga bagi semua umat Islam di manapun mereka berada.
Adapun hadis Nabi saw. yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap kiblat pada saat salat adalah :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :
   عن ابى هريرة ر.ع . قال : قال النبى ص.م. : اذا قمت الى الصلاة فاسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة وكبر
  Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a.  Nabi saw bersabda: bila  hendak salat maka sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian takbir.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
   عن  ا نس بن مالك رع قال : ان رسو ل الله ص م كان يصلى نحو  ا تبيت المقدس فنزلت : قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام. فمر رجل من بنى سلمة وهم ركوع فى صلاة الفجر وقد صلوا ركعة ، فنادى الا انالقبلة قد حولت فمالوا كما هم نحو القبلة
Artinya : “  Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang salat menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “ Sungguh kami melihat mukamu menengadah ke langit (sering melihat ke langit berdo’a agar turun wahyu yang memerintahkan berpaling ke Baitullah). Sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Kemudian ada orang dari Bani Salamah sedang melakukan ruku’pada salat fajar pada raka’at kedua. Lalu Nabi menyeru “Ingatlah bahwa kiblat telah diubah”. Lalu, mereka berpaling ke arah kiblat (Baitullah)
            Hadis yang pertama memperkuat perintah menghadap kiblat yang terdapat dalam al-Qur’an sehingga hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang semakna berfungsi sebagai bayan ta’kid. Lebih dari itu, hadis yang kedua lebih mengokohkan fungsinya sebagai bayan ta’kid karena adanya perintah Nabi saw untuk membetulkan arah kiblat yang keliru.
Bila pada masa Nabi Muhammad saw. kewajiban menghadap kiblat yakni Ka’bah itu tidak banyak menimbulkan masalah karena umat Islam masih relatif sedikit dan kebanyakan tinggal di seputar Mekkah sehingga mereka bisa melihat wujud Ka’bah. Berbeda halnya  dengan keadaan pasca Nabi saw. Saat itu, umat Islam sudah banyak jumlahnya dan tinggal tersebar di berbagai belahan dunia yang jauh dari Mekkah. Apakah kewajiban menghadap kiblat itu harus pada fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) atau cukup dengan arahnya saja (syathrah atau jihah).
Para ulama sepakat  bahwa bagi orang-orang yang melihat ka’bah wajib menghadap ‘ain al-ka’bah dengan penuh keyakinan. Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Pertama, Jumhur ulama selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, “Apa yang berada di antara Timur dan Barat adalah Kiblat”. Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua yang berada di antara keduanya termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap fisik ka’bah.
Kedua,  Syafi’iyah berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Mekkah untuk mengenai ‘ain al-ka’bah yakni wajib menghadap ka’bah sebagaimana yang diwajibkan pada orang-orang yang menyaksikan fisik ka’bah. Adapun dalil yang dikemukakan oleh Syafi’iyah sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Syafi’I adalah orang yang wajib menghadap kiblat dalam salatnya  berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana penduduk Makkah. Juga berdasarkan ayat 150 surat al-Baqarah yang mewajibkan kita untuk menghadap ka’bah yang berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana orang yang dapat melihat ka’bah secara langsung.
Apabila pendapat Syafi’iyah ini diikuti, maka umat akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan salat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam. Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan. Akibatnya, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya salat  yaitu menghadap kilbat.  Ini berarti, Syari’ dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya telah memberikan taklif yang tidak mampu dilakukan oleh mukallaf (taklîf mâlâ yuthâq). Hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, pendapat Jumhurlah yang lebih kuat dan dapat diamalkan.
Lalu,  bagaimana kita mengetahui arah kiblat yang akurat sebagaimana dikehendaki oleh nash-nash tersebut ? Ilmu pengetahuan dapat membantu  untuk mengetahui  apa yang dikehendaki oleh nash itu dengan metode  melihat fenomena alam dalam hal ini adalah keadaan bumi yang bulat. Maka, sebagai implikasinya adalah ke manapun muka kita dihadapkan akan bertemu juga dengan Ka’bah. Oleh karena itu, persoalannya apakah yang dimaksudkan dengan arah itu (syathrah)  ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “arah” itu mempunyai dua arti, yaitu “menuju” dan “menghadap ke”. Apabila arti arah tersebut digunakan dalam konteks ini, maka menjadi relatiflah menghadap ke arah ka’bah itu karena dapat dilakukan dengan menghadap kedua arah yang berlawanan. Oleh karena itu, para ahli astronomi menggunakan arah dalam pengertian  jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekah yang dapat diukur melalui lingkaran besar. Maka, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, setelah menafsirkan  “kiblat” pada ayat 144 surat al-Baqarah dengan “arah kiblat”, kaum muslimin harus mengetahui posisi Baitul Haram dengan metode mempelajari ilmu Bumi dan ilmu Falak
Dengan bekal ilmu pengetahuan tersebut, umat Islam dapat mengetahui arah kiblatnya secara lebih akurat. Sebab, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah apabila terjadi kekeliruan dalam arah kiblat yang diketahui pada saat sedang salat maka salatnya harus dibatalkan dan diulangi lagi dengan menghadap ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya. Demikian juga apabila kekeliruan itu baru diketahui setelah salat selesai dikerjakan. Salat tersebut harus diulangi kembali (I’âdah). Mereka menganggap orang tersebut seperti seorang hakim yang telah memutus perkara yang ternyata  bertentangan dengan nash. Maka, hakim tersebut harus meralat putusannya karena bertentangan dengan nash.
Sementara itu, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, orang yang mengetahui kekeliruan arah kiblat di dalam salatnya tidak perlu membatalkan salatnya. Cukup baginya membetulkan arah kiblat dengan metode memutar badannya ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya serta melanjutkan salatnya sampai selesai.  Begitu juga bagi orang yang mengetahui kekeliruan arah kiblatnya setelah selesai salat. Ia tidak perlu mengulang kembali salatnya. Sebab, orang tersebut posisinya sama seperti mujtahid yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan dengan metode mengerahkan segala kemampuan (ilmu pengetahuan) semaksimal mungkin  sebagaimana layaknya sebuah ijtihad. Atas dasar itu, Imam Syafi’I dalam kitabnya “al-Risâlah” memberikan contoh aktifitas ijtihad adalah  menentukan arah kiblat.   Akibatnya, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus oleh ahlinya sehingga menghasilkan arah kiblat yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
C.    Beberapa Metode Penentuan Arah Kiblat
Penentuan arah kiblat yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Pertama kali mereka menentukan arah kiblatnya ke Barat dengan alasan Saudi Arabia tempat di mana ka’bah berada terletak di sebelah Barat Indonesia. Hal ini dilakukan dengan kira-kira saja tanpa perhitungan dan pengukuran terlebih dahulu. Oleh karena itu, arah kiblat sama persis dengan tempat matahari terbenam.Dengan demikian arah kiblat itu identik dengan arah Barat. Metode ini jelas tidak akurat karena terdapat penyimpangan yang cukup besar sekitar 25 derajat. Hal ini berarti telah terjadi penyimpangan sebesar 3641,75 km ke sebelah kiri ka’bah. sebanyak 145,67 Km.
Selanjutnya, penentuan arah kiblat dilakukan berdasarkan letak geografis Saudi Arabia terletak di sebelah Barat agak miring ke Utara (Barat Laut), maka arah kiblatnya ke arah tersebut. Oleh karena itu, ada sebagian umat Islam yang tetap memiringkan arah kiblatnya agak ke Utara walaupun ia salat di masjid yang sudah benar menghadap kiblat.
Kedua metode tersebut sama-sama berpedoman pada arah, tetapi tidak menghasilkan arah kiblat yang akurat. Ketiakakuratan tersebut disebabkan karena kesalahan dalam menentukan posisi ka’bah pada posisi Barat Indonesia sebagaimana terlihat pada metode yang pertama dan kesalahan dalam mengaplikasikan penentuan arah kiblat sebagaimana yang terlihat pada metode yang kedua. Kedua kesalahan tersebut terjadi disebabkan oleh karena kedua metode tersebut tidak ditetapkan berdasarkan landasan ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Falak atau Astronomi.
Setelah berkenalan dengan ilmu Falak, penentuan arah kiblat dilakukan  berdasarkan bayang-bayang sebuah tiang atau tongkat. Alat yang dipergunakannya antara lain adalah bencet atau miqyas atau tongkat istiwa dan rubu’ mujayab atau busur derajat. Mereka berpedoman pada posisi matahari persis (atau mendekatai persis) pada titik zenit ka’bah (rashdul kiblat). Hasilnya lebih akurat dibandingkan dengan metode kedua metode tersebut. Kelompok masyarakat yang menggunakan metode ini sering disebut aliran Rukyah.
Posisi matahari tepat berada di atas Ka’bah akan terjadi jika lintang Ka’bah sama dengan deklinasi matahari, maka pada saat itu matahari berkulminasi tepat di atas Ka’bah. Posisi tersebut akan terjadi dalam satu tahun sebanyak dua kali, yaitu pada setiap tanggal 27 Mei (tahun Kabisat) atau 28 Mei (tahun Bâsithah) jam 11 57 LMT dan pada tanggal 15 Juli (tahun Kabisat) atau 16 Juli (tahun Bâsithah) jam 12 06 LMT. karena pada kedua tanggal dan jam tersebut besaran deklinasi matahari hampir sama dengan lintang Ka'bah tersebut. Dengan demikian,  apabila waktu Mekah (LMT) tersebut dikonversi menjadi waktu Indonesia bagian Barat (WIB), maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama dengan jam 16 18 WIB dan 16 27 WIB. Oleh karena itu, masyarakat Islam dapat mengecek arah Kiblat setiap tanggal 27 atau 28 Mei jam 16 18 WIB, karena semua bayangan matahari akan searah dengan arah kiblat, demikian pula pada setiap tanggal 15 atau 16 Juli jam 16 27 WIB.
Metode tersebut memang lebih mudah dan dapat dilakukan oleh setiap orang. Di samping itu, hasil pengukurannyapun juga  lebih akurat. Meskipun demikian, metode tersebut tetap saja masih memiliki kelemahan. Pertama, dari segi waktu metode tersebut hanya dapat dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas selama empat hari yaitu tanggal 27 dan  28 Mei serta tanggal 15 dan 16 Juli. Kedua, dari segi letak geografis negara kita yang berada di daerah khattulistiwa menyebabkan negara kita beriklim tropis yang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi. Akibatnya, aplikasi metode tersebut di lapangan tidak dapat dilakukan manakala cuaca mendung atau hujan.
Selanjutnya, mereka menggunakan perhitungan dengan mempergunakan  ilmu Ukur setelah diketahui terlebih dahulu koordinat ka’bah dan tempat yang bersangkutan. Sistem ini menggunakan dua metode, yaitu ilmu Ukur Bidang Datar dan ilmu Ukur Bola (Spherical Trigonometri). Ternyata hasilnya lebih akurat dan dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Meskipun demikian, metode ini sangat sulit karena dihadapkan pada penggunaan rumus-rumus matematika dan perhitungan yang pelik. Oleh karena itu, metode ini hanya dapat dilakukan oleh para ahli astronomi atau ilmu Falak atau mereka yang telah mempelajarinya.
Selanjutnya, setelah Kompas Kiblat ditemukan maka alat ini banyak dipergunakan orang karena lebih mudah dan lebih praktis dalam mempergunakannya. Kita tidak perlu repot-repot melakukan pengukuran dan perhitungan. Sebab, alat tersebut dilengkapi dengan buku petunjuk yang berisi daftar   kota di seluruh dunia berikut angka pedoman arah kiblatnya masing-masing. Saat ini terdapat tiga macam Kompas Kiblat yang beredar di masyarakat dengan tiga macam buku petunjuk yang memuat data yang berbeda-beda pula. Akibatnya, arah kiblat yang dihasilkan untuk satu kota bisa berbeda-beda.  Oleh karena itu, alat ini memiliki banyak kelemahan sehingga arah kiblat yang dihasilkannya kurang akurat.
Dalam perkembangan terakhir system yang digunakan dalam menentukan arah kiblat adalah menggunakan pesawat Theodolit. Alat ini dipergunakan untuk menentukan arah Utara sejati, membuat sudut sesuai dengan data kiblat yang sudah ada dan untuk menarik garis lurus. Sistem ini baru dapat dipergunakan setelah diketahui terlebih dahulu data arah kiblat hasil perhitungan ilmu Ukur Bola. Dengan demikian, sebenarnya metode ini bersifat aplikatif yang merupakan kelanjutan dari metode sebelumnya.  Oleh karena itu, selanjutnya muncul software-sofware aplikatif dalam pengukuran arah kiblat yang hasilnya cukup akurat seperti Goegle earth dan Qibla Locator.

E. Penutup
            Baik nash al-Qur’an maupun hadis menghendaki akurasi arah kiblat dalam ibadah salat. Pandangan-pandangan ulama dari berbagai madzhabpun menghendaki hal yang sama. Oleh karena itu, dalam setiap pembangunan sarana ibadah seperti masjid dan mushalla harus didahului dengan pengukuran arah kiblat yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 
     
F. Daftar Pustaka

Asrofie, M.Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya,Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005
 Ash-Shiddieqy, TM Hasbi,  Tafsir al-Qur’an al-Madjid An-Nur,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1966
Al-Bukhary, Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn al-Mughiroh bin Bardazbah, Shahih al-Bukhori, Jilid 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004
 Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam  Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta : 1994/1995
 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut : Dar al-Fikr, 1992, Jilid I
 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
 Izzuddin, Ahmad,  Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia : Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab, Yogyakarta : Logung Pustaka, 2003
Jannah, Sofwan, “Pengukuran Arah Kiblat Dan Bayangan Kiblat Secara Sederhana”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hisab dan Rukyat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama PW NU DIYdi Wisma Puas Kaliurang Yogyakarta 22 s.d. 23 Juli 2007

Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami’us shahih, Juz 1, Beirut: Dar al-fikr,tth.

Maspoetra, H.Nabhan, Koordinat Geografis dan Arah Kiblat : Perhitungan dan Pengukurannya, makalah disampaikan dalam Pelatihan Tenaga Tehnis Hisab Rukyat Tingkat Dasar dan Menengah di Ciawi Bogor, Mei 2004

Rahman, Asjmuni A., Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Sabiq, Sayid,  Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983

Al-Syafi’I, Ar-Risalah, terjemahan oleh Ahmadi Thoha dari al-Risalâh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, cet. ke-1

Van den Brink, Jan dan Marja Meeder, Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah, disadur oleh Andi Hakim Nasoetion dari “Mekka”, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993

Zuhaili, Wahbah,  al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997,

comment 0 komentar:

Posting Komentar

BERITA & ARTIKEL LAIN

 
copyright©2011 KUA Sangkapura Bawean Gresik Jawa Timur