Selamat Datang di blog KUA Sangkapura Bawean Gresik Jawa Timur, Dalam rangka meningkatkan pelayanan prima, KUA Sangkapura menerapkan pelayanan berbasis IT

Fdatured

0 Gambaran Umum Kecamatan Sangkapura



a.      Desa-desa dalam wilayah kecamatan
Kecamatan Sangkapura terdiri dari 17 desa , yaitu
1.      Kumalasa
2.      Lebak
3.      Bululanjang
4.      Sungaiteluk
5.      Kotakusuma
6.      Sawahmulya
7.      Sungairujing
8.      Daun
9.      Sidogedungbatu
10.  Kebuntelukdalam
11.  Balikterus
12.  Gunungteguh
13.  Patarselamat
14.  Pudakittimur
15.  Pudakitbarat
16.  Suwari
17.  Dekatagung

b. Letak Geografis
Batas Wilayah Kec. Sangkapura
Sebelah Utara        :     Wilayah Kec. Tambak             Sebelah Timur :           Laut Jawa
Sebelah Selatan     :     Laut Jawa                                Sebelah Barat  :           Laut Jawa
Luas Wilayah daratan mencapai 11.872,00 Ha
Sumber daya alam  ; hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan serta tambang batu onik.
Sebagian besar mata pencarian / pekerjaan penduduk di sektor pertanian dan perikanan 75 %, selain itu juga perdagangan / industri kecil 15 % , angkutan dan jasa 5 % , serta  tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri terutama di Negara Malaysia sebagai tenaga buruh kontruksi 5 %.

c. Jumlah Penduduk  tahun  2011
Total penduduk Kecamatan Sangkapura sebagaimana laporan kependudukan oleh Camat Sangkapura untuk bulan Nopember 2011 berjumlah 49.054  jiwa , dengan rincian 24.772 laki-laki dan 24.282 perempuan. Rincian jumlah penduduk pada setiap desa sebagaimana  terlampir.

d. Jumlah Pemeluk Agama tahun 2011
 Dari semua penduduk Kecamatan Sangkapura yang berjumlah 49.054  jiwa , hampir semua beragama Islam sedangkan yang beragama lain hanya 4 jiwa yaitu agama Katolik.

e. Jumlah Tempat Ibadah
Karena hampir semua beragama Islam sedangkan yang beragama lain hanya 4 jiwa yaitu maka tentunya jenis tempat ibadah hanyalah tempat ibadah untuk yang beragama Islam yang meliputi  Masjid  sejumlah                                  ;   78 buah
Langgar dan Mushollah sejumlah       ;  274 buah
                        Jumlah                         ;  352 buah
Sedangkan tempat ibadah agama lain tidak ada.
Read more

0 VISI, MISI & MOTTO



VISI ; Mewujudkan pelayanan yang ideal dalam membentuk masyarakat Sangkapura yang Islami, Sejahtera dan Modern
MISI ; dalam mewujudkan visi maka kami merencanakan beberapa misi
      1.      Mengadakan Penataan Administrasi dan Peningkatan pelayanan khususnya di bidang NR berbasis IT / Tehnologi Informasi
      2.      Meningkatan SDM Staf dan P3N
      3.      Menggalakkan penyuluhan dan sosialisasi program, tugas dan fungsi KUA
      4.      Meningkatkan peran serta lembaga dan ormas yang ada.
MOTTO KUA SANGKAPURA ; PELAYANAN TUNTAS, MASYARAKAT PUAS
Read more

0 STRUKTUR KUA SANGKAPURA


Read more

0 PENYULUHAN ZAKAT & WAKAF kerjasama dengan DMI (Dewan Masjid Indonesia) dan BAZ (BAdan Amil Zakat) KEc. Sangkapura






"Selain Urusan Pencatatan Nikah & Rujuk, tugas dan fungsi KUA adalah melayani masyarakat di berbagai bidang keagamaan lain seperti Konsultasi & Pemberdayaan Zakat & Wakaf, Pembinaan Keluarga Sakinah, Kemasjidan, Produk Halal, Konsultasi Arah Kiblat dll sesuai dengan TUPOKSI yang telah ada" Salah satu uraian Penyuluhan Tgl 19 Pebruari 2012 di Masjid Al-Kautsar Desa Daun Kec. Sangkapura Pulau Bawean Gresik, dihadiri oleh Kepala Desa, Kepala Dusun, Ta'mir Masjid dan pengurus ORMAS Se Kec. Sangkapura. Tidak kurang dari 100 orang memadati ruang dalam masjid dengan seksama mengikuti penyuluhan.
Materi pokok yang disampaikan adalah sosialisasi UU no 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan sosialisasi wakaf serta sertipikasi tanah wakaf oleh Nasichun Amin, M.Ag selaku Kepala KUA Kec. Sangkapura.
Bapak Drs. R. Ahsanul Haq selaku Ketua DMI Kec. Sangkapura dalam sambutannya juga berharap semua pihak baik takmir, perangkat desa/dusun dan segenap lapisan masyarakat dapat bekerjasama dalam peningkatan kualitas ummat dengan peningkatan amaliyah baik melalui zakat atau wakaf. Begitu juga Ust. Maskur sebagai Ketua BAZ Kec. Sangkapura memberikan penyuluhan bahwa kita semua harus memantabkan  langkah kita dalam pengelolaan zakat. Semua lembaga diharapkan dapat bekerjasama untuk peningkatan pengentasan kemiskinan. Takmir masjid dan kepala dusun yang belum membentuk atau mengusulkan pengurus unit pengumpul zakat (UPZ) harus segera membentuk dan berkordinasi di tingkat desa serta aktif dan berjalan sesuai dengan ketentuan pengelolaan zakat.
Pada Akhir pertemuan, seluruh hadirin sepakat akan meningkatkan kinerja dalam mensukseskan program BAZ dan DMI. Semua berharap agar Bawean bisa lebih baik di kemudian hari.
Read more

0 ACARA MAULUDAN DI MASJID SANGKAPURA



Ahad, 12 Robiul Awal 1433 H / 05 Pebruari 2012 Pagi ini, mulai jam 08.00 Peringatan Maulidurrosul Muhammad SAW, yang diselenggarakan oleh Takmir Masjid Jami' Sa'datud Daroin Sangkapura. Acara dimulai dg pembacaan AL Barjanji, sedangkan di halaman Panitia sibuk menerima Angkatan dan men solter dari isi angkatan yg bukan makanan/barang tradisional. Tamu mulai berdatangan mulai jam 09 sampai menjelang dhuhur. Jumlah yang hadir tidak kurang dari 100 orang dari berbagai dusun di wilayah Desa Kotakusuma dan Desa Sawahmulya. Sebagai penceramah Bpk. KH. Hazin Zainuddin Dlofir. 
Beliau menjelaskan betapa besar syafaat dari Rosulullah SAW dengan berbagai contoh kisah dan bukti yang sudah diakui oleh umat Islam. Oleh karena itu menurut beliau kita harus benar-benar bisa mentauladani sifat dan akhlaq Rosulullah. Dan karena itulah kita memperingati Kelahiran beliau sebagai wujud syukur kepada Allah SWT.
Turut hadir dalam acara tersebut, Nasichun AMin, M.Ag Kepala KUA Kec. Sangkapura bersama dengan pejabat MUSPIKA dan tokoh agama setempat. Acara ditutup dengan pembacaan Syarakalan bersama-sama setelah sebelumnya diselenggarakan sholat dhuhur berjama'ah. Pada akhir acara do'a dipimpin kembali oleh KH Hazin.
Read more

0 BLANGKO CATATAN PENASEHATAN PERKAWINAN & BERITA ACARA





Read more

1 SUNATAN MASSAL "MAULID NABI" DI MASJID JAMI' SANGKAPURA








Pada hari Sabtu, 4 Pebruari 2012 Ta'mir Masjid Sa'datut Daroin melaksanakan Khitanan Massal dalam rangka Maulidurrosul SAW tahun 1434 / 2012. Tidak kurang dari 40 anak yang mengikuti khitanan massal ini. Didampingi oleh orang tua mereka, secara bergiliran disunat yg tenaga medisnya adalah dari Puskesmas Sangkapura.
Jeritan dan tangis bergantian terdengar diantara para peserta khitanan massal, namun ada juga beberapa peserta dengan tenang tidak mengekpresikan takut untuk di sunat. Khitanan massal yang sudah diselenggarakan kurang lebih ke 10 kali pada setiap tahun menjelang peringatan Maulidurrosul Muhammad SAW ini, sangat menarik dan sangat bermanfaat sekali. Menurut beberapa warga, diharapkan kegiatan ini tetap dipertahankan untuk mewujudkan semangat Islam dan menumbuhkan jiwa agamis di lingkungan masyarakat khususnya di Bawean.
Read more

0 AKURASI ARAH KIBLAT : TINJAUAN FIQIH DAN SAINS Oleh : Dr. Sopa, M.Ag



A.    Pendahuluan
Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat. Apabila tidak menghadap kiblat, salatnya tidak sah. Umat Islam di Indonesia pada umumnya meyakini  kiblat itu berada di sebelah Barat sehingga identik dengan arah Barat tempat terbenamnya matahari. Akibatnya, bagi mereka salat itu harus menghadap ke Barat di manapun mereka berada. Dengan demikian, masalah kiblat itu menjadi masalah yang “sederhana” yang dapat diketahui dengan diketahuinya arah terbit dan terbenamnya matahari.
Ketika mereka masih berada di wilayah Indonesia, hal tersebut tidak menjadi “persoalan”. Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain apabila mereka berada di luar wilayah Indonesia seperti yang dialami oleh kaum muslimin Suriname Amerika Latin  yang berasal dari pulau Jawa. Mereka tetap menghadap ke Barat dalam salatnya, padahal semestinya harus menghadap ke Timur.
Atas dasar itu, penentuan arah kiblat itu bukan menjadi persoalan yang sederhana lagi. Sebab, ketika  KH Ahmad Dahlan mempelopori perubahan arah kiblat di Yogyakarta timbullah rekasi keras menentangnya sampai-sampai suraunya diratakan dengan tanah. Menurut perhitungan ilmu Falak yang dikuasainya, arah kiblat yang benar di Yogyakarta itu adalah menghadap ke Barat Laut dan bukan ke Barat.  Beliau sudah berusaha dan memperjuangkan pendapatnya secara hati-hati dan bijaksana, tetapi hasilnya tetap saja reaksi yang berlebih-lebihan dan tidak proporsional.
Dari kedua peristiwa tersebut, jelaslah bahwa masalah “akurasi” menjadi persoalan yang sangat penting dalam menentukan arah kiblat. Sebab, berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang menjadi dalil kewajiban menghadap kiblat di dalam salat  adalah harus dilakukan dengan metode menghadap fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) bagi mereka yang berada di sekitar ka’bah dan menghadap ke arah kiblat bagi mereka yang berada di luarnya. Makalah yang sederhana ini mencoba membahas hal tersebut secara singkat dan praktis.
B. Landasan Normatif
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia baru boleh dilakukan setelah ada ketetapan atau dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Hal  ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl fรฎ al-‘ibรขdah al-buthlรขn hattรข yaqรปma al-dalรฎl ‘alรข al-amr, hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah bathal sampai ada dalil yang memerintahkannya”. Ini berarti bahwa dalam lapangan ibadah, pada hakekatnya segala perbuatan harus menunggu adanya perintah yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya baik melalui al-Qur’an maupun  hadis.  
Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk  menghadap kiblat dalam salat baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Adapun nash-nash al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Al-Baqarah [2] : 144 :
ู‚ุฏ ู†ุฑู‰ ุชู‚ู„ุจ ูˆุฌู‡ูƒ ููŠ ุงู„ุณู…ุงุก ูู„ู†ูˆู„ูŠู†ูƒ ู‚ุจู„ุฉ ุชุฑุถุงู‡ุง ููˆู„ ูˆุฌู‡ูƒ ุดุทุฑ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุญุฑุงู… ูˆุญูŠุซ ู…ุง ูƒู†ุชู… ููˆู„ูˆุง ูˆุฌูˆู‡ูƒู… ุดุทุฑู‡ ูˆุฅู† ุงู„ุฐูŠู† ุฃูˆุชูˆุง ุงู„ูƒุชุงุจ ู„ูŠุนู„ู…ูˆู† ุฃู†ู‡ ุงู„ุญู‚ ู…ู† ุฑุจู‡ู… ูˆู…ุง ุงู„ู„ู‡ ุจุบุงูู„ ุนู…ุง ูŠุนู…ู„ูˆู†
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
2. Al-Baqarah [2] : 149 dan 150.
ูˆู…ู† ุญูŠุซ ุฎุฑุฌุช ููˆู„ ูˆุฌู‡ูƒ ุดุทุฑ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุญุฑุงู… ูˆุฅู†ู‡ ู„ู„ุญู‚ ู…ู† ุฑุจูƒ ูˆู…ุง ุงู„ู„ู‡ ุจุบุงูู„ ุนู…ุง ุชุนู…ู„ูˆู† ูˆู…ู† ุญูŠุซ ุฎุฑุฌุช ููˆู„ ูˆุฌู‡ูƒ ุดุทุฑ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุญุฑุงู… ูˆุญูŠุซ ู…ุง ูƒู†ุชู… ููˆู„ูˆุง ูˆุฌูˆู‡ูƒู… ุดุทุฑู‡ ู„ุฆู„ุง ูŠูƒูˆู† ู„ู„ู†ุงุณ ุนู„ูŠูƒู… ุญุฌุฉ ุฅู„ุง ุงู„ุฐูŠู† ุธู„ู…ูˆุง ู…ู†ู‡ู… ูู„ุง ุชุฎุดูˆู‡ู… ูˆุงุฎุดูˆู†ูŠ ูˆู„ุฃุชู… ู†ุนู…ุชูŠ ุนู„ูŠูƒู… ูˆู„ุนู„ูƒู… ุชู‡ุชุฏูˆู†
Artinya : Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.
            Dalam ayat-ayat tersebut Allah firman-Nya ููˆู„ ูˆุฌู‡ูƒ ุดุทุฑ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุญุฑุงู… sampai tiga kali. Menurut Ibn Abbas, pengulangan tersebut berfungsi sebagai penegasan pentingnya menghadap kilbat (ta’kรฎd). Sementara itu, menurut Fakhruddin al-Razi, pengulangan tersebut menujukkan fungsi yang berbeda-beda. Pada  ayat yang pertama (al-Baqarah : 144) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dapat melihat ka’bah, sedangkan pada ayat yang kedua (al-Baqarah : 149) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di luar masjidil Haram. Sementara itu, pada ayat yang ketiga (al-Baqarah : 150) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di negeri-negeri yang jauh. Berdasarkan kedua pendapat tersebut jelaslah bahwa perintah menghadap kiblat itu tidak hanya ditujukan pada mereka yang berada di Makkah dan sekitarnya, tetapi juga bagi semua umat Islam di manapun mereka berada.
Adapun hadis Nabi saw. yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap kiblat pada saat salat adalah :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :
   ุนู† ุงุจู‰ ู‡ุฑูŠุฑุฉ ุฑ.ุน . ู‚ุงู„ : ู‚ุงู„ ุงู„ู†ุจู‰ ุต.ู…. : ุงุฐุง ู‚ู…ุช ุงู„ู‰ ุงู„ุตู„ุงุฉ ูุงุณุจุบ ุงู„ูˆุถูˆุก ุซู… ุงุณุชู‚ุจู„ ุงู„ู‚ุจู„ุฉ ูˆูƒุจุฑ
  Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a.  Nabi saw bersabda: bila  hendak salat maka sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian takbir.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
   ุนู†  ุง ู†ุณ ุจู† ู…ุงู„ูƒ ุฑุน ู‚ุงู„ : ุงู† ุฑุณูˆ ู„ ุงู„ู„ู‡ ุต ู… ูƒุงู† ูŠุตู„ู‰ ู†ุญูˆ  ุง ุชุจูŠุช ุงู„ู…ู‚ุฏุณ ูู†ุฒู„ุช : ู‚ุฏ ู†ุฑู‰ ุชู‚ู„ุจ ูˆุฌู‡ูƒ ููŠ ุงู„ุณู…ุงุก ูู„ู†ูˆู„ูŠู†ูƒ ู‚ุจู„ุฉ ุชุฑุถุงู‡ุง ููˆู„ ูˆุฌู‡ูƒ ุดุทุฑ ุงู„ู…ุณุฌุฏ ุงู„ุญุฑุงู…. ูู…ุฑ ุฑุฌู„ ู…ู† ุจู†ู‰ ุณู„ู…ุฉ ูˆู‡ู… ุฑูƒูˆุน ูู‰ ุตู„ุงุฉ ุงู„ูุฌุฑ ูˆู‚ุฏ ุตู„ูˆุง ุฑูƒุนุฉ ، ูู†ุงุฏู‰ ุงู„ุง ุงู†ุงู„ู‚ุจู„ุฉ ู‚ุฏ ุญูˆู„ุช ูู…ุงู„ูˆุง ูƒู…ุง ู‡ู… ู†ุญูˆ ุงู„ู‚ุจู„ุฉ
Artinya : “  Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang salat menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “ Sungguh kami melihat mukamu menengadah ke langit (sering melihat ke langit berdo’a agar turun wahyu yang memerintahkan berpaling ke Baitullah). Sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Kemudian ada orang dari Bani Salamah sedang melakukan ruku’pada salat fajar pada raka’at kedua. Lalu Nabi menyeru “Ingatlah bahwa kiblat telah diubah”. Lalu, mereka berpaling ke arah kiblat (Baitullah)
            Hadis yang pertama memperkuat perintah menghadap kiblat yang terdapat dalam al-Qur’an sehingga hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang semakna berfungsi sebagai bayan ta’kid. Lebih dari itu, hadis yang kedua lebih mengokohkan fungsinya sebagai bayan ta’kid karena adanya perintah Nabi saw untuk membetulkan arah kiblat yang keliru.
Bila pada masa Nabi Muhammad saw. kewajiban menghadap kiblat yakni Ka’bah itu tidak banyak menimbulkan masalah karena umat Islam masih relatif sedikit dan kebanyakan tinggal di seputar Mekkah sehingga mereka bisa melihat wujud Ka’bah. Berbeda halnya  dengan keadaan pasca Nabi saw. Saat itu, umat Islam sudah banyak jumlahnya dan tinggal tersebar di berbagai belahan dunia yang jauh dari Mekkah. Apakah kewajiban menghadap kiblat itu harus pada fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) atau cukup dengan arahnya saja (syathrah atau jihah).
Para ulama sepakat  bahwa bagi orang-orang yang melihat ka’bah wajib menghadap ‘ain al-ka’bah dengan penuh keyakinan. Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Pertama, Jumhur ulama selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, “Apa yang berada di antara Timur dan Barat adalah Kiblat”. Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua yang berada di antara keduanya termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap fisik ka’bah.
Kedua,  Syafi’iyah berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Mekkah untuk mengenai ‘ain al-ka’bah yakni wajib menghadap ka’bah sebagaimana yang diwajibkan pada orang-orang yang menyaksikan fisik ka’bah. Adapun dalil yang dikemukakan oleh Syafi’iyah sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Syafi’I adalah orang yang wajib menghadap kiblat dalam salatnya  berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana penduduk Makkah. Juga berdasarkan ayat 150 surat al-Baqarah yang mewajibkan kita untuk menghadap ka’bah yang berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana orang yang dapat melihat ka’bah secara langsung.
Apabila pendapat Syafi’iyah ini diikuti, maka umat akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan salat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam. Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan. Akibatnya, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya salat  yaitu menghadap kilbat.  Ini berarti, Syari’ dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya telah memberikan taklif yang tidak mampu dilakukan oleh mukallaf (taklรฎf mรขlรข yuthรขq). Hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, pendapat Jumhurlah yang lebih kuat dan dapat diamalkan.
Lalu,  bagaimana kita mengetahui arah kiblat yang akurat sebagaimana dikehendaki oleh nash-nash tersebut ? Ilmu pengetahuan dapat membantu  untuk mengetahui  apa yang dikehendaki oleh nash itu dengan metode  melihat fenomena alam dalam hal ini adalah keadaan bumi yang bulat. Maka, sebagai implikasinya adalah ke manapun muka kita dihadapkan akan bertemu juga dengan Ka’bah. Oleh karena itu, persoalannya apakah yang dimaksudkan dengan arah itu (syathrah)  ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “arah” itu mempunyai dua arti, yaitu “menuju” dan “menghadap ke”. Apabila arti arah tersebut digunakan dalam konteks ini, maka menjadi relatiflah menghadap ke arah ka’bah itu karena dapat dilakukan dengan menghadap kedua arah yang berlawanan. Oleh karena itu, para ahli astronomi menggunakan arah dalam pengertian  jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekah yang dapat diukur melalui lingkaran besar. Maka, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, setelah menafsirkan  “kiblat” pada ayat 144 surat al-Baqarah dengan “arah kiblat”, kaum muslimin harus mengetahui posisi Baitul Haram dengan metode mempelajari ilmu Bumi dan ilmu Falak
Dengan bekal ilmu pengetahuan tersebut, umat Islam dapat mengetahui arah kiblatnya secara lebih akurat. Sebab, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah apabila terjadi kekeliruan dalam arah kiblat yang diketahui pada saat sedang salat maka salatnya harus dibatalkan dan diulangi lagi dengan menghadap ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya. Demikian juga apabila kekeliruan itu baru diketahui setelah salat selesai dikerjakan. Salat tersebut harus diulangi kembali (I’รขdah). Mereka menganggap orang tersebut seperti seorang hakim yang telah memutus perkara yang ternyata  bertentangan dengan nash. Maka, hakim tersebut harus meralat putusannya karena bertentangan dengan nash.
Sementara itu, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, orang yang mengetahui kekeliruan arah kiblat di dalam salatnya tidak perlu membatalkan salatnya. Cukup baginya membetulkan arah kiblat dengan metode memutar badannya ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya serta melanjutkan salatnya sampai selesai.  Begitu juga bagi orang yang mengetahui kekeliruan arah kiblatnya setelah selesai salat. Ia tidak perlu mengulang kembali salatnya. Sebab, orang tersebut posisinya sama seperti mujtahid yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan dengan metode mengerahkan segala kemampuan (ilmu pengetahuan) semaksimal mungkin  sebagaimana layaknya sebuah ijtihad. Atas dasar itu, Imam Syafi’I dalam kitabnya “al-Risรขlah” memberikan contoh aktifitas ijtihad adalah  menentukan arah kiblat.   Akibatnya, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus oleh ahlinya sehingga menghasilkan arah kiblat yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
C.    Beberapa Metode Penentuan Arah Kiblat
Penentuan arah kiblat yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Pertama kali mereka menentukan arah kiblatnya ke Barat dengan alasan Saudi Arabia tempat di mana ka’bah berada terletak di sebelah Barat Indonesia. Hal ini dilakukan dengan kira-kira saja tanpa perhitungan dan pengukuran terlebih dahulu. Oleh karena itu, arah kiblat sama persis dengan tempat matahari terbenam.Dengan demikian arah kiblat itu identik dengan arah Barat. Metode ini jelas tidak akurat karena terdapat penyimpangan yang cukup besar sekitar 25 derajat. Hal ini berarti telah terjadi penyimpangan sebesar 3641,75 km ke sebelah kiri ka’bah. sebanyak 145,67 Km.
Selanjutnya, penentuan arah kiblat dilakukan berdasarkan letak geografis Saudi Arabia terletak di sebelah Barat agak miring ke Utara (Barat Laut), maka arah kiblatnya ke arah tersebut. Oleh karena itu, ada sebagian umat Islam yang tetap memiringkan arah kiblatnya agak ke Utara walaupun ia salat di masjid yang sudah benar menghadap kiblat.
Kedua metode tersebut sama-sama berpedoman pada arah, tetapi tidak menghasilkan arah kiblat yang akurat. Ketiakakuratan tersebut disebabkan karena kesalahan dalam menentukan posisi ka’bah pada posisi Barat Indonesia sebagaimana terlihat pada metode yang pertama dan kesalahan dalam mengaplikasikan penentuan arah kiblat sebagaimana yang terlihat pada metode yang kedua. Kedua kesalahan tersebut terjadi disebabkan oleh karena kedua metode tersebut tidak ditetapkan berdasarkan landasan ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Falak atau Astronomi.
Setelah berkenalan dengan ilmu Falak, penentuan arah kiblat dilakukan  berdasarkan bayang-bayang sebuah tiang atau tongkat. Alat yang dipergunakannya antara lain adalah bencet atau miqyas atau tongkat istiwa dan rubu’ mujayab atau busur derajat. Mereka berpedoman pada posisi matahari persis (atau mendekatai persis) pada titik zenit ka’bah (rashdul kiblat). Hasilnya lebih akurat dibandingkan dengan metode kedua metode tersebut. Kelompok masyarakat yang menggunakan metode ini sering disebut aliran Rukyah.
Posisi matahari tepat berada di atas Ka’bah akan terjadi jika lintang Ka’bah sama dengan deklinasi matahari, maka pada saat itu matahari berkulminasi tepat di atas Ka’bah. Posisi tersebut akan terjadi dalam satu tahun sebanyak dua kali, yaitu pada setiap tanggal 27 Mei (tahun Kabisat) atau 28 Mei (tahun Bรขsithah) jam 11 57 LMT dan pada tanggal 15 Juli (tahun Kabisat) atau 16 Juli (tahun Bรขsithah) jam 12 06 LMT. karena pada kedua tanggal dan jam tersebut besaran deklinasi matahari hampir sama dengan lintang Ka'bah tersebut. Dengan demikian,  apabila waktu Mekah (LMT) tersebut dikonversi menjadi waktu Indonesia bagian Barat (WIB), maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama dengan jam 16 18 WIB dan 16 27 WIB. Oleh karena itu, masyarakat Islam dapat mengecek arah Kiblat setiap tanggal 27 atau 28 Mei jam 16 18 WIB, karena semua bayangan matahari akan searah dengan arah kiblat, demikian pula pada setiap tanggal 15 atau 16 Juli jam 16 27 WIB.
Metode tersebut memang lebih mudah dan dapat dilakukan oleh setiap orang. Di samping itu, hasil pengukurannyapun juga  lebih akurat. Meskipun demikian, metode tersebut tetap saja masih memiliki kelemahan. Pertama, dari segi waktu metode tersebut hanya dapat dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas selama empat hari yaitu tanggal 27 dan  28 Mei serta tanggal 15 dan 16 Juli. Kedua, dari segi letak geografis negara kita yang berada di daerah khattulistiwa menyebabkan negara kita beriklim tropis yang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi. Akibatnya, aplikasi metode tersebut di lapangan tidak dapat dilakukan manakala cuaca mendung atau hujan.
Selanjutnya, mereka menggunakan perhitungan dengan mempergunakan  ilmu Ukur setelah diketahui terlebih dahulu koordinat ka’bah dan tempat yang bersangkutan. Sistem ini menggunakan dua metode, yaitu ilmu Ukur Bidang Datar dan ilmu Ukur Bola (Spherical Trigonometri). Ternyata hasilnya lebih akurat dan dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Meskipun demikian, metode ini sangat sulit karena dihadapkan pada penggunaan rumus-rumus matematika dan perhitungan yang pelik. Oleh karena itu, metode ini hanya dapat dilakukan oleh para ahli astronomi atau ilmu Falak atau mereka yang telah mempelajarinya.
Selanjutnya, setelah Kompas Kiblat ditemukan maka alat ini banyak dipergunakan orang karena lebih mudah dan lebih praktis dalam mempergunakannya. Kita tidak perlu repot-repot melakukan pengukuran dan perhitungan. Sebab, alat tersebut dilengkapi dengan buku petunjuk yang berisi daftar   kota di seluruh dunia berikut angka pedoman arah kiblatnya masing-masing. Saat ini terdapat tiga macam Kompas Kiblat yang beredar di masyarakat dengan tiga macam buku petunjuk yang memuat data yang berbeda-beda pula. Akibatnya, arah kiblat yang dihasilkan untuk satu kota bisa berbeda-beda.  Oleh karena itu, alat ini memiliki banyak kelemahan sehingga arah kiblat yang dihasilkannya kurang akurat.
Dalam perkembangan terakhir system yang digunakan dalam menentukan arah kiblat adalah menggunakan pesawat Theodolit. Alat ini dipergunakan untuk menentukan arah Utara sejati, membuat sudut sesuai dengan data kiblat yang sudah ada dan untuk menarik garis lurus. Sistem ini baru dapat dipergunakan setelah diketahui terlebih dahulu data arah kiblat hasil perhitungan ilmu Ukur Bola. Dengan demikian, sebenarnya metode ini bersifat aplikatif yang merupakan kelanjutan dari metode sebelumnya.  Oleh karena itu, selanjutnya muncul software-sofware aplikatif dalam pengukuran arah kiblat yang hasilnya cukup akurat seperti Goegle earth dan Qibla Locator.

E. Penutup
            Baik nash al-Qur’an maupun hadis menghendaki akurasi arah kiblat dalam ibadah salat. Pandangan-pandangan ulama dari berbagai madzhabpun menghendaki hal yang sama. Oleh karena itu, dalam setiap pembangunan sarana ibadah seperti masjid dan mushalla harus didahului dengan pengukuran arah kiblat yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. 
     
F. Daftar Pustaka

Asrofie, M.Yusron, Kyai Haji Ahmad Dahlan : Pemikiran dan Kepemimpinannya,Yogyakarta : MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005
 Ash-Shiddieqy, TM Hasbi,  Tafsir al-Qur’an al-Madjid An-Nur,  (Jakarta : Bulan Bintang, 1966
Al-Bukhary, Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibn al-Mughiroh bin Bardazbah, Shahih al-Bukhori, Jilid 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2004
 Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam  Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta : 1994/1995
 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut : Dar al-Fikr, 1992, Jilid I
 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
 Izzuddin, Ahmad,  Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia : Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab, Yogyakarta : Logung Pustaka, 2003
Jannah, Sofwan, “Pengukuran Arah Kiblat Dan Bayangan Kiblat Secara Sederhana”, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hisab dan Rukyat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama PW NU DIYdi Wisma Puas Kaliurang Yogyakarta 22 s.d. 23 Juli 2007

Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, al-Jami’us shahih, Juz 1, Beirut: Dar al-fikr,tth.

Maspoetra, H.Nabhan, Koordinat Geografis dan Arah Kiblat : Perhitungan dan Pengukurannya, makalah disampaikan dalam Pelatihan Tenaga Tehnis Hisab Rukyat Tingkat Dasar dan Menengah di Ciawi Bogor, Mei 2004

Rahman, Asjmuni A., Qaidah-Qaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Sabiq, Sayid,  Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983

Al-Syafi’I, Ar-Risalah, terjemahan oleh Ahmadi Thoha dari al-Risalรขh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986, cet. ke-1

Van den Brink, Jan dan Marja Meeder, Kiblat Arah Tepat Menuju Mekah, disadur oleh Andi Hakim Nasoetion dari “Mekka”, Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993

Zuhaili, Wahbah,  al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 1, Damaskus: Dar al-Fikr, 1997,

Read more

3 HUKUM WARIS KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA



Makalah 1

HUKUM WARIS ISLAM INDONESIA*)
Oleh : Nasichun Amin,M.Ag (Kepala KUA Kec. Sangkapura Kab. Gresik Jawa Timur)

Hukum Waris adalah peraturan yang mengatur siapa saja yang berhak menjadi ahli waris (yang bisa mewarisi harta) dari seseorang yang telah meninggal dunia dan mengatur bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris dari harta warisan (tirkah) yang ditinggalkan dan dimiliki oleh orang yang meninggal.
Hukum Waris Islam merupakan reformasi besar-besaran dari hukum waris jaman jahiliyah, walaupun dilakukan secara bertahap. Berikut beberapa perubahan ketetapan hukum yang terjadi dari jaman jahiliyah secara tabel sebaimana berikut :

Hukum Waris Jahiliyah
Hukum Waris Islam
Wanita tidak bisa jadi ahli waris, hanya laki-laki saja yang menjadi ahli waris bahkan wanita bisa menjadi harta warisan
Wanita dan laki-laki sama-sama menjadi ahli waris dengan pembagian tertentu dan wanita bukan harta warisan
Perjanjian persaudaraan menjadi sebab saling mewarisi
Pada awal Islam masih mengakui perjanjian persaudaraan dan persaudaraan ketika hijrah sebagai sebab saling mewarisi, namun pada akhir syari'at mengenai waris hal tersebut dihapus.
Anak angkat laki-laki bisa menjadi ahli waris
Pada awal Islam mengakui namun akhir syari'at Islam menghapus pengangkatan anak sebagai sebab saling mewarisi
Pembebasan budak, tuan budak yang membebaskan tidak menjadi ahli waris
Dalam rangka menghapuskan perbudakan, dalam ajaran Islam, tuan yang membebaskan budaknya menjadi ahli waris dari budak yang telah dimerdekakannya. Pada zaman sekarang perbudakan sudah tidak ada maka ketentuan tersebut otomatis sudah tidak berlaku.

Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan ayat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun oleh syari’ah Islam adalah sistem kekeluargaan yang bersifat bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkan kepada ummat Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah hukum keluarga yang bersifat bilateral, sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam praktik.
Sebagai jalan keluar untuk penyelesaian pelaksanaan hukum waris Islam di Indonesia, maka tersusunlah ketentuan pelaksanaan pembagian harta waris yang disusun dan disepakati oleh beberapa ulama Indonesia. Dan untuk penetapannya pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden  nomor 01 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya (Buku II) termaktub hukum waris Islam dan hal-hal yang terkait dengan harta waris. Berikut adalah tabel praktis ahli waris dan pembagian harta waris, sesuai dengan kompilasi hukum Islam.

*) disampaikan dalam Rapat Dinas Kepala Desa, dari berbagai sumber dan rujukan





Makalah 2

Sosialisasi Hukum Waris Islam di Indonesia
oleh ; Nasichun Amin, M.Ag (Penghulu Muda KUA Kec. Gresik)

Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan menentukan siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan berapa bagiannya masing-masing.
Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah Hukum Kewarisan Islam                    
Sejarah Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah. Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat dipaparkan sebagai berikut ;
1.   Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
2.   Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan turunnya Surat An Nisa’, Ayat 19 yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat tersebut Allah SWT. Berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
3.   Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
4.   Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.
5.   Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi
6.   Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah :
a. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
b. Adanya pengangkatan anak
c. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi.
7.   Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya berlaku hukum kewarisan yang ditetapkan oleh Al Qur’an dan As Sunah sebagai suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim.
8.   Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam Syari’at Islam. Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-Nya dalam Surat An Nisa’ ayat 7, yang artinya sebagai berikut ;
”Bagi orang laki-laki ada hak (bagian) dari hartapeninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Kemudian dalam ayat 11 Surat An Nisa’ itu pula Allah SWT. Berfirman yang artinya :
”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
9.   Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara (janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagian yang lain di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu .....”
10. Kemudian mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 4 dan 5 Surat Al Ahzab, yang artinya :
”..... dan Tuhan tidak menjadikan anak-anak angkatmun sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Sedang Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka dengan memakai nama-nama ayahnya (yang sebenarnya) sebab yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahuiayahnya maka (panggillah mereka seperti memanggil) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (yakni orang-orang yang berada di bawah pemeliharaanmu).....”
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula bahwa :
”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi.....”
11. Sedang mengenai kewarisan berdasarkan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
”Tidak ada kewajiban berhijrah lagi setelah penaklukan kota Makkah”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang dijadikan dasar penghapusan hubungan Muwarosah antara Muhajirin dengan Anshor.
12. Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
13. Meskipun diyakini bahwa sistem kekeluargaan yang dibangun oleh syari’ah Islam adalah sistem kekeluargaan yang bersifat bilateral, akan tetapi ternyata pengaruh adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkan kepada ummat Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat bilateral, sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
14. dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. Menetapkan bahwa orang yang memerdekakan budak, maka ia menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia. Akan tetapi pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
15. Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing merupakan Sub-sistem yang membentuk suatu Sistem Hukum, yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. Oleh karenanya kedua hukum tersebut harus mempunyai sifat, asas dan gaya yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, apabila terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama dengan Hukum Perkawinan.
16. Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini terjadi karena faktor sejarah, tata kehidupan masyarakat, pemikiran, ketaatan terhadap syari’ah, dan sebagainya yang berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan juga menimbulkan disparitas nya putusan Pengadilan Agama.
17. Disamping itu, corak kehidupan masyarakat Arab yang bersifat patrilineal sangat menonjol dan mempengaruhi pemahaman terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum Kewarisan Islam yang kita pelajari selama ini adalah hukum kewarisan yang lebih bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman masyarakat Arab tempo dulu sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil karena corak kehidupan masyarakat kita adalah bilateral, sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal.
18. Keadaan yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang bertugas membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, termasuk disini adalah Peradilan Agama.
19. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
20. Menghadapi kenyataan tentang perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, KH. Ali Darokah mengatakan bahwa :
”Walhasil, hukum faraid yang ada perlu dibina lagi, terutama untuk Indonesia, dengan hukum faraid konkrit yang dapat mencakup soal-soal penting yang berkait dengan faraid, dan mencakup petunjuk ayat-ayat Al Qur’an dan Al Hadits yang telah dipotong oleh sebagian ulama fiqih. Bila pembinaan itu berhasil, Insya Allah persengketaan kita dapat terselesaikan.”
Untuk menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu fiqih dengan rasa keadilan masyarakat islam maka perlu diadakan kaji ulang terhadap hukum kewarisan Islam yang ada dan mengembalikannya kepada sumber aslinya, yaitu Al Qur’an dan As Sunah. Untuk itu, diluncurkanlah gagasan tentang reaktualisasi Hukum Islam yang kemudian hasilnya dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini.

 Makalah ini di tulis dari berbagai kutipan dan sumber rujukan. Wallahu A'lam
Read more

BERITA & ARTIKEL LAIN

 
copyright©2011 KUA Sangkapura Bawean Gresik Jawa Timur